Friday, May 24, 2013

Biografi Sutan Mansur


Biografi

Buya Haji Ahmad Rasyid (A.R) Sutan Mansur

(1895-1985)

Buya Haji Ahmad Rasyid (A.R) Sutan Mansur merupakan salah sato tokoh utama Muhammadiyah. Ketokohannya tak hanya dikenal di kalangan Muhammadiyah saja, tapi juga di kalangan luar Muhammadiyah pun ia sangat dikenal. Buya Haji AR. Sutan Mansur dikenal sebagai tokoh yang hidup serba sederhana, tetapi memiliki pandangan luas. Lahir sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara, pada tanggal 26 Jumadil Akhir 1313 H, bertepatan dengan 15 Desember 1895 di Maninjau Sumatra Barat. Orang tuanya bernama Abdul Shomad al-Kusaij, serta ibunya Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur. Kedua orang tuanya adalah tokoh dan guru agama Islam di kampung Air Angek. Oleh karenanya, pengetahuan agama Islam didapatkan pertama kali langsung dari kedua orang tuanya. Sedangkan untuk pendidikan umum, ia mendapatkannya di sekolah Indische School (IS) dari tahun 1902 sampai dengan 1909. di Indische School inilah ia mendapatkan belajar berhitung, geografi, ilmu ukur, dan sebagainya.
Yang menarik dari diri Buya Haji Ahmad Rasyid (A.R) Sutan Mansur adalah penolakannya terhadapa tawaran belajar di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru sekolah setelah lulus. Penolakan tersebut karena ia lebih senang untuk mempelajari dan memperdalam pengetahuan agama Islam.

        
   Selain itu, sejak muda belia sudah tertanam dalam dirinya semangat anti penjajah Belanda. Karena baginya, penjajahan sudah bertentangan dengan fitrah manusia. Penjajah Belanda pun kerap kali berupaya menghadang dan mempersempit gerakan syiar agama Islam. Maka, tidaklah heran bila ia salah satu orang yang berada di baris terdepan dalam penolakan upaya pemerintah Belanda untuk menjalankan peraturan Ordonansi Guru. Baginya, penerapan peraturan tersebut akan melenyapkan kemerdekaan dalam mensyiarkan agama Islam.

            Ia mendalami ilmu agama seperti, tauhid, bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, tarikh, syariat, tasawuf, Al-Quran, Tafsir, dan hadits dengan musthalahnya di bawah bimbingan Haji Rasul, tokoh pembaru Islam di Minangkabau pada tahun 1910-1917, atas saran gurunya Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah). Pada tahun 1917 ia diambil mantu oleh gurunya, Haji Rasul, dinikahkan dengan putri sulungnya yang bernama Fatimah.

            Ia bercita-cita untuk dapat melanjutkan studinya ke Mesir, tetapi pemberontakan terhadap penjajahan Inggris yang terjadi di Mesir menggagalkan keinginannya tersebut. terlebih, ia juga tidak mendapat izin dari Pemerintah Belanda untuk berangkat. Akhirnya ia merantau ke Pekalongan, Jawa Tengah untuk berdagang batik dan menjadi guru agama Islam bagi para perantau dari Sumatra dan kaum Muslim lainnya.

            Selama di Pekalongan ini, sering terjadi interaksi dengan Ahmad Dahlan yang sering datang ke Pekalongan untuk bertabligh. Selain itu kesamaan persepsi dan ide pembaruan yang dikembangkan, membuat pilihannya untuk bergabung ke Persyarikatan Muhammadiyah dan mendirikan Perkumpulan Nurul Islam bersama para pedagang dari Sungai Batang Maninjau yang telah masuk Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di Muhammadiyah ini pula ia menemukan Islam tidak hanya sebagai ilmu semata, tetapi ada upaya nyata untuk mengamalkan dan membuatnya membumi.

            Pada tahun 1923, Sutan Mansur diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Pekalongan dan cabang Pekajangan, Kedung Wuni, selain tetap aktif mengadakan tabligh dan. menjadi guru agama. Pada akhir 1925, Sutan Mansur diutus PB Muhammadiyah untuk memimpin dan menata Muhamamdiyah yang mulai tumbuh dan berkembang di tengah terjadi ancaman dan konflik antara Muhammadiyah dan orang-orang Komunis di Ranah Minang. Cara berdakwah yang tidak frontal dan akomodatif terhadap para pemangku adat dan tokoh setempat, sehingga Muhammadiyah pun dapat diterima dengan baik dan mengalami perkembangan pesat  .

            Keberhasilan Sutan Mansur di Minangkabau menarik perhatian Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah di Yogyakarta. Pada tahun 1927 ia diutus bersama Fachruddin dan Hamka bertabligh dan mengembangkan Muhammadiyah di Medan dan Aceh.Tiga tahun berikutnya, yakni pada 1930, di Bukittinggi, Sumatra Barat, diselenggarakan Mukatamar Muhammadiyah ke-19. penyelenggaraan Muktamar Muhammadiyah di Bukittinggi merupakan bukti keberhasilan Sutan Mansur mengembangkan Muhammadiyah. Sejak itu, ketokohan Sutan Mansur terkenal di seluruh cabang Muhammadiyah di Nusantara.

            Sutan Mansur dijuluki oleh konsul-konsul daerah lain dengan julukan “Imam Muhammadiyah Sumatra”, karena ia membuka dan memimpin “Kulliyah al-Mubalighin Muhammadiyah” di Padang panjang, tempat membina Mubaligh tingkat atas. Kader Muhammadiyah dididik dan digembleng untuk menyebarluaskan Muhammadiyah dan ajaran Islam di Minangkabau dan daerah-daerah sekitar.

            Ketika pendudukan Jepang ia diangkat oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai salah satu anggota Tsuo Sang Kiai dan Tsuo Sangi-in – semacam DPR dan DPRD. Meskipun demikian, sikap keras  ditunjukkan kepada pendudukan Jepang tatkala berusaha untuk menghalang-halangi murid-murid untuk melaksanakan shalat dengan mengadakan pertemuan menjelang maghrib dan tidak berpuasa.

           
Pada masa revolusi, ia diserahi jabatan sebagai imam tentara dengan pangkat Jendaral Mayor Titular oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Mohammad Hatta.
Pada tahun 1950, Sutan Mansur ditawari jabatan sebagai penasihat TNI Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat (MABAD), namun ia tolak, karena harus berkeliling ke daerah Sumatra, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah. Pada tahun 1952, Presiden Soekarno memintanya untuk menjadi penasihat Presiden, dengan catatan keluarganya harus diboyong ke Jakarta. Lagi-lagi tawaran tersebut ditolak dan ia hanya bersedia menjadi penasihat tidak resmi sehingga tidak harus hijrah ke Jakarta.

            Peran besar Sutan Mansur yang sering kali dikenang oleh kalangan Muhammadiyah adalah ketika Muhammadiyah akan melakukan Kongres ke-26 di Yogyakarta pada tahun 1937, adalah mencuatnya permasalahan angakatan muda yang sangat bersemangat melancarkan kritik di luar sidang. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi fitnah.

            Kemudian Ki Bagus Hadikusumo bersama R.H. Hadjid menghubungi dan meminta bantuan Sutan Mansur (Konsul daerah Minangkabau), Tjirtosoewarno (Konsul Daerah Pekalongan), dan Moeljadi Djojomartono (Konsul Daerah Surakarta). Ketiga funsionaris ini berhasil memediasi kalangan tua, yang anatara lain KH. Hasyim, KH. Mukhtar, dan KH. Sudja’,  dan kalangan muda terdiri dari H.A. Badawi, H. Hasyim, H. Basyiran, H. Abdulhamid, dan H.M. Farid Ma’ruf. Pertemuan itu berjalan dengan baik dengan dijiwai semangat keikhlasan dan keterbukaan.

            Pada tahun 1953, Sutan Mansur yang kemudian mendapat gelar buya (kiai di luar Jawa) terpilih menjadi Ketua Umum PB Muhammadiyah. Dalam Mukatmar ke-33 di Palembang, Sumatra Selatan pada tahun 1956, ia terpilih kembali menjabat Ketua Umum PB Muhammadiyah. Tidak hanya itu, ia juga terpilih menjadi anggota Konstituante dari Partai Masyumi setelah Pemilihan Umum 1953.

            Dalam masa kepemimpinannya disebut sebagai penanaman kembali dan pemantapan “roh tauhid” (semangat tauhid) dalam Muhammadiyah. Untuk itu, Sutan Mansur memasyarakatkan dua hal, sebagai berikut: pertama, merebut khasyyash (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu, memenuhi janji, menanam roh tauhid, dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan buq’ah mubarakah (tempat yang diberkati) di tempat masing-masing mengupayakan shalat jamaah pada awal setiap waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji Al-Qur’an untuk mengharap rahmat, melatih puasa sunat hari Senin dan Kamis, juga pada tanggal 13, 14, dan 15 bulan Islam sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan tetap menghidupkan takwa.

            Dalam periode kepemimpinannya pula, Muhammadiyah juga berhasil merumuskan khittahnya tahun 1956-1959 atau yang populer dengan “khittah Palembang”, yaitu, pertama, menjiwai pribadi dan pemimpin Muhammdiyah dengan memperdalam dan mempertebal tauhid, menyempurnakan ibadah dengan khusu’ dan tawadu’, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggung jawab. Kedua, melaksanakan uswatun hasanah. Ketiga, mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi. Keempat, memperbanyak dan mempertinggi mutu anak. Kelima, memperoleh ukhuwah sesama Muslim dengan mengadakan badan islah untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan. Keenam, menuntun penghidupan anggota.

            Sutan mansur juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Dari beberapa tulisannya antara lain berjudul: Jihad; Seruan kepada kehidupan Baru; Tauhid Membentuk Kepribadian Muslim; dan Roh Islam. Dalam tulisannya tampak sekali bahwa ia ingin mencari Islam yang paling lurus yang tercakup dalam paham yang murni dalam Islam.

            M. Yunus Anis, dalam salah satu kongres Muhammadiyah mengatakan bahwa di Muhammadiyah ada dua bintang, yaitu Bintang Timur adalah KH. Mas Mansur dari Surabaya, Ketua PP Muhammadiyah 1937-1943, dan Bintang Barat adalah Sutan Mansur dari Minangkabau, ketua PP Muhammadiyah 1953-1959.

            Sutan Mansur menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 25 Maret 1985 yang bertepatan dengan 3 Rajab 1405, di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap hari Ahad pagi menjelang akhir hayat senantiasa masih memberikan pelajaran agama Islam terutama tentang tauhid di ruang pertemuan Gedung Muhammadiyah jalan Menteng Raya 62 Jakarta.

            Jenazah almarhum dikebumikan di pemakaman umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Komplek Muhammadiyah. Hari itu, warga Muhammadiyah dan seluruh kaum Muslim di Indonesia berduka.

Disarikan dari Buku Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah

No comments:

Post a Comment