Falsafah Haji
Inilah saat-saat kehadiran terindah di tanah
suci, tanah tempat Rasulullah pertama kali menyampaikan suara wahyu Ilahi.
Cinta kepada Ilahi telah menarik jutaan manusia dari tanah kelahiran dan
rumah mereka untuk datang berbondong-bondong ke sebuah tanah yang aman dan
suci. Puji syukur kita panjatkan kepada Allah, Tuhan yang Mahaagung, karena
telah menganugerahkan usia hingga kita bertemu lagi dengan bulan Dzulhijjah
yang mulia ini. Kita kini bisa kembali menyaksikan tibanya hari-hari ketika
jutaan ummat Muhammad berkumpul, bersama-sama mengucapkan kalimah talbiah,
“Labbaik, Allahumma labbaik”. “Inilah aku Ya Allah, datang menemui
panggilan-Mu”.
Saat Nabi Ibrahim a.s. membangun sebuah
bangunan sederhana berbentuk kubus sebagai tempat ibadah kepada Allah, mungkin
saat itu tidak ada yang bisa mengira bahwa tempat itu akan menjadi pusat dari
jalinan persaudaraan paling tulus dari jutaan ummat manusia yang mendambakan
pertemuan dengan Allah. Tidak ada yang menyangka bahwa kehadiran jutaan ummat
manusia secara kolosal dalam sebuah event keagamaan haji ini juga akan menjadi
kritikan praktis bagi para pengikut Marxisme yang mengatakan bahwa agama
menyebabkan kelompok masyarakat menjadi rendah dan hina. Mereka yang masih
berpendapat demikian seharusnya saat ini datang ke Mekah. Lihatlah, betapa
jutaan manusia mampu menunjukkan keagungan mereka secara kolektif lewat
syiar-syiar agama.
Haji adalah panggilan dari rumah Allah yang
ditujukan kepada orang-orang yang beriman di seluruh pelosok dunia. Haji
mengajak mereka untuk menghirup air mata cemerlang dan segar di rumah Allah.
Husein Thurabi, salah seorang peziarah Baitullah asal Iran yang tahun ini
mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji, mengatakan sebagai berikut.
“Saya sangat berbahagia. Sejak awal tahun,
saya selalu menghitung hari demi hari karena sangat tidak sabar untuk bisa
segera tiba di hari-hari ini. Karena itulah, ketika kesempatan itu sekarang
tiba, yaitu ketika saya punya kesempatan untuk bertemu dengan Allah di
rumah-Nya, tidak ada hal lain yang lebih layak untuk saya lakukan kecuali
memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai suasana spiritual di rumah Allah ini
untuk mempercepat proses penyempurnan jiwa kita”.
Haji adalah ibadah massal yang melibatkan
orang dalam jumlah jutaan. Karena itu, ibadah ini juga menampilkan suasana
kolosal yang sangat indah. Saat ini, di Mekah, kita bisa menyaksikan
orang-orang yang berasal dari beragam bangsa dan dengan pakaian yang berbeda,
bersama-sama berkumpul di Baitul Haram. Orang-orang dari Indonesia,
Malaysia, dan bangsa Melayu lainnya melakukan shalat dengan peci khas mereka.
Kaum perempuannya juga mengenakan mukena khas kawasan itu. Akan tetapi, dengan
segala kekhasan pakaiannya itu, mereka semua sangat serasi dengan bangsa-bangsa
lainnya yang beribadah dengan pakaian khas mereka pula. Tidak ada yang janggal
dari keberagaman mereka karena yang mereka perbuat adalah hal yang sama, yaitu
beribadah di rumah suci.
Melihat semua itu, kita dengan mudah meyakini bahwa ibadah haji
memang secara sengaja diskenariokan oleh Allah untuk sebuah rencana yang agung
dan dahsyat. Hal ini juga bisa kita tangkap dari berbagai riwayat atau ayat
Al-Quran yang berbicara tentang ibadah haji. Allah SWT dalam surah Al-Haj ayat
27 dan 28 berfirman sebagai berikut.
“(Wahai Muhamad), panggillah manusia untuk mengerjakan haji, hingga
mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai binatang-bianatang
yang kurus. Mereka datang dari segala penjuru bumi yang sangat jauh. Biarkanlah
mereka menyaksikan berbagai hal yang bermanfaat buat mereka sendiri. (Ajaklah
mereka) agar menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan, yaitu ketika
mereka berqurban dengan binatang-binatang ternak mereka. Maka, makanlah
sebagian dari daging qurban itu, dan sebagian lainnya, berikanlah kepada kaum
faqir untuk mereka makan”.
Imam Khomeini dalam salah satu pidatonya berkata,
“Salah satu tugas penting kaum muslimin adalah memahami hakikat
haji ini. Kita seharusnya bertanya-tanya, mengapa kita harus melakukan ibadah
haji yang pelaksanaannya menelan biaya sangat besar ini? Secara sekilas saja,
kita bisa melihat bahwa haji adalah sebuah pertunjukkan yang digelar oleh kaum
muslimin dalam rangka memamerkan kekuatan spiritual dan bahkan kekuatan materi
yang dimiliki oleh kaum muslimin. Akan tetapi, pemahaman sekilas ini saja jelas
tidak cukup untuk menggali rahasia keagungan yang tersembunyi dalam ibadah haji
ini. Para ulama dan cendekiawan muslim harus berupaya keras untuk memahami, dan
memahamkannya kepada orang lain, tentang mutiara hidayah, hikmah, dan kebebasan
yang terkandung dalam ibadah ini”.
Sementara itu Syeikh Muhamad Yazbaki, salah seorang ulama besar
Lebanon, mengatakan sebagai berikut.
“Falsafah yang terkandung dari ibadah haji sebagai kongres kaum
muslimin sedunia adalah sebuah gerakan massal untuk menyatukan langkah dan hati
kaum muslimin sedunia dalam menghadapi kekuatan arogan internasional. Saat
bertemu dalam marasim haji, kaum muslimin dari berbangsa bisa menularkan
pengalaman mereka masing-masing tentang perjuangan menegakkan agama mulia ini
di tempat mereka. Hari ini, keperluan untuk menyatukan langkah di antara kaum
muslimin itu makin terasa urgensinya, mengingat saat ini kaum muslimin sedang
menghadapi fitnah dan konspirasi Barat dalam memecah-belah kita dengan
slogan-slogan palsu semisal pemberantasan terorisme”.
Ibadah haji memang sangat indah. Pada saat masyarakat dunia banyak
kehilangan arah dan pegangan hidup, para peziarah rumah Allah secara serentak
menggumamkan “Labbaik Allahumma labbaik. Ya Allah, aku datang memenuhi
panggilan-Mu”. Pada saat ketidakamanan dan ketidaktenteraman terjadi di banyak
tempat di dunia ini, jutaan kaum muslimin di Mekah beribadah secara khusyu dan
tenteram, sambil saling menunjukkan kasih sayangnya terhadap sesama. Dengan
ibadah dan kekhusyuan massal yang mereka gelar di Mekah itu, kaum muslimin itu
seakan menyampaikan pesan indah berikut ini kepada seluruh ummat manusia di
dunia.
“Jika seluruh manusia mau menyembah Allah yang Mahaesa, Zat yang
mengajarkan keindahan dan hidup mulia; Zat yang mengajarkan kehidupan damai dan
kebaikan terhadap sesama; dan jika seluruh ummat manusia mau menyembah Allah
dengan segala sifat keagungan dan kebaikannya seperti itu, niscaya manusia pada
masa sekarang tidak perlu khawatir dengan berbagai macam kakacauan, krisis, dan
pertentangan di antara sesama mereka. Manusia niscaya akan hidup damai,
tenteram, dan sentausa, sebagaimana yang diperlihatkan secara indah oleh kaum
muslimin saat mereka menunaikan ibadah haji”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Ketika
Nabi Muhamad SAWW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, sebuah peristiwa
historis tengah bergulir dan sebuah gerakan besar sedang menyeruak membelah
langit peradaban manusia. Sejak saat itu, Madinah menjadi salah satu kota
paling penting, bukan hanya untuk para pengikut agama Islam, tetapi juga untuk
seluruh ummat manusia di dunia. Di kota inilah peradaban Islami mulai ditata.
Karena pentingnya nilai historis kota ini, hampir tidak ada peziarah Baitullah
yang tidak mengunjungi Madinah saat mereka melakukan ibadah haji, meskipun
ziarah ke Madinah bukanlah bagian dari ibadah haji.
Di
hari-hari sebelum dan sesudah pelaksanaan ibdah haji, suasana spiritual yang
kental sangat terasa di kota Madinah, khususnya di Masjid Nabawi, tempat
dimakamkannya Rasulullah SAWW. Kaum muslimin secara berkelompok dan bergiliran
menziarahi makam Rasul yang suci ini. Mereka berupaya keras memperoleh berkah
dari pusara Rasulullah SAWW. Salah seorang peziarah pusara Rasulullah SAWW
bernama Husaini menuturkan pengalamannya sebagai berikut.
“Saat
aku menginjakkan kaki di kota Madinah, aku langsung merasakan segarnya semilir
angin kedamaian yang sangat semerbak. Di sinilah tempat dimakamkannya makhluk
termulia di alam semesta, yaitu Nabi Muhammad SAWW. Dialah manusia yang bukan
saja telah mengajarkan kepada kita akhlak yang mulia, melainkan dia sendiri
yang memberikan contoh dan suri tauladan tentang bagaimana caranya menjadi
manusia yang baik. Karenanya, menyaksikan dari dekat pusara beliau memberikan
suasana tersendiri yang sangat impresif.
“Siapa
saja yang mendatangi pusara beliau, hatinya pasti tergetar, kecuali jika hati
mereka memang sudah diliputi oleh hawa nafsu dan bisikan setan. Saya sendiri
melihat betapa banyak orang yang datang untuk berziarah ke makam beliau dengan
hati yang diliputi oleh rasa keagungan yang dipancarkan oleh makam Rasulullah.
Banyak orang yang tanpa terasa meneteskan air mata kerinduan abadi kepada Rasul
yang mulia ini. Ketika adzan menggema dari menara Masjid Nabawi, segera
terbayang masa-masa indah saat Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat
Rasulullah, melantunkan suara emasnya membacakan adzan dalam rangka memanggil
kaum muslimin untuk menghadap Allah”.
Memang,
meskipun sudah belasan abad lamanya berlalu dari masa hidup Nabi, kehidupan
beliau dan sahabat-sahabatnya yang setia tetap terbayang hingga kini begitu
kita memasuki kota Madinah Al-Munawwarah. Itu semua disebabkan sangat mulianya
kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah. Semuanya
tersimpan sebagai kenangan di kota itu. Terbayang pula bagaimana dulu
Rasulullah tidak pernah berhenti memberikan nasihat kepada ummatnya, dan
nasehat beliau itu masih sangat relevan dengan kondisi ummatnya di masa kini.
Dengarkanlah salah satu petikan nasehat beliau yang dicatat oleh para ahli
hadits berikut ini.
“Wahai
kaum muslimin, berhati-hatilah, jangan sampai kalian melepaskan persatuan dan
kebersamaan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kalian. Janganlah kalian
berpecah belah, saling membunuh, dan kalian kembali ke masa jahiliah dulu. Aku
sangat mengkhawatirkan bahwa hal itu akan terjadi kepada kalian sepeninggalku
nanti. Ingatlah, aku telah meninggalkan buat kalian dua pusaka yang akan
membuat kalian tetap bersatu padu. Keduanya adalah Kitabullah dan itrah-ku,
keluargaku”.
Hampir
semua ulama dan cendekiawan muslim sedunia menyepakati fakta bahwa kaum
muslimin saat ini menghadapi salah satu problema besar, yaitu persatuan yang
sangat rapuh. Berbagai fakta di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, dan
hal-hal lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar bangsa muslim dunia lebih suka
menjalin persaudaraan dengan pihak luar daripada dengan saudara-saudara seagama
mereka. Padahal, justru masalah persatuan inilah yang saat ini sering menjadi
faktor paling menentukkan dalam menyelesaikan berbagai problema yang dihadapi
ummat Islam.
Saat
ini, ummat Islam di manapun mereka berada, pastilah tengah menghadapi berbagai
problema yang pelik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, masalah yang dihadapi
seakan bertambah rumit dan menyakitkan, terutama setelah kaum arogan dunia
menggelar gerakan yang mereka namakan dengan program pemberantasan terorisme
dengan sasaran kelompok-kelompok Islam dunia. Jelas sekali bahwa ada agenda
tersembunyi di balik program itu. Hal-hal yang tersembunyi itu kini semakin
terungkap. Bangsa-bangsa muslim dunia juga semakin menyadari konspirasi busuk
negara-negara arogan itu. Akan tetapi, kesadaran tersebut masih baru pada tahap
awal karena belum terimplementasikan dalam bentuk gerakan-gerakan kongkrit
untuk melawan kesewenang-wenangan yang ditimpakan kepada kuammuslimin. Hal ini
menunjukkan bahwa ada hal lain yang harus dimiliki kaum muslimin agar kesadaran
itu bisa menghasilkan hal-hal yang kongkret dan positif. Hal yang hilang, dan
harus diwujudkan itu adalah masalah persatuan.
Di
sisi lain, bangsa-bangsa muslim juga adalah pemilik cadangan energi minyak dan
gas terbesar di dunia. Jumlah penduduk kaum muslimin juga termasuk yang
terbesar. Akan tetapi, mengapa semua potensi itu belum bisa mengantarkan ummat
Muhammad ini menjadi kaum yang memiliki peranan signifikan di panggung
internasional. Tentu saja, banyak sebabnya. Akan tetapi, hampir semua
cendekiawan muslim sepakat bahwa salah satu faktor penghalang tampilnya kaum
muslimin di dunia adalah tidak adanya persatuan di antara mereka.
Ketika
kita melihat ibadah haji yang dilakukan oleh jutaan ummat Islam dari seluruh
dunia, dan kemudian kita mengingat kembali problema sangat rapuhnya persatuan
dan kebersamaan di antara kaum muslimin, kita akan langsung menghubungkan kedua
masalah ini. Bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-Quran bahwa salah satu
tujuan diperintahkannya ummat Islam melakukan ibadah haji ini dalah supaya
mereka memperoleh manfaatnya? Bukankah saat melakukan ibadah haji itu, para
peziarah Rumah Allah itu menujukkan persatuan dan kebersamaan mereka? Mengapa
kebersamaan indah yang ditunjukkan oleh para hujjaj itu tidak bisa
ditransformasikan ke dalam bentuk kebersamaan kaum muslimin di seluruh dunia?
Tidak
bisa diragukan lagi bahwa optimisme mengenai akan terwujudnya persatuan di
antara kaum muslimin dunia akan kita rasakan saat kita melihat kaum muslimin
melakukan ibadah haji. Inilah yang dirasakan oleh sejumlah orang. Kini, kita
simak penuturan Nyonya Zainab Kobold, seorang cendekiawan Barat yang baru saja
memeluk agama Islam, dan ia juga sempat melakukan ibadah haji ke Mekah.
“Haji
memberikan pengaruh yang sangat besar kepada saya. Jutaan ummat manusia datang
dari delapan penujuru dunia. Secara bersama-sama, mereka melafazhkan pujian
kepada Allah. Semua itu adalah pemandangan yang sangat menggetarkan. Tentu
saja, berada di tengah-tengah massa yang menampilkan pemandangan kolosal
seperti ini akan menjadi kenangan tersendiri yang tidak akan mungkin dilupakan.
Berat dan jauhnya perjalanan akan terlupakan. Keragaman pemikiran dan perbedaan
pendapat juga menjadi hilang musnah ditelan oleh agungnya kebersamaan ini.
Keagungan persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan inilah yang menjadi salah satu
penyebab masuknya saya kepada agama suci ini”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Ibadah
haji tentulah bukan hanya sekedar lembaran sejarah yang harus diisi oleh
kehidupan seorang muslim. Haji juga bukan sekedar sepetak lahan di jazirah
gersang bernama Hijaz, yang tiap tahun dihadiri oleh ummat manusia. Haji bahkan
bukan hanya sekedar rangkaian amal ibadah dengan tata cara ketat yang harus
dijalani oleh seorang muslim. Lebih dari semua itu, ibadah haji adalah rahmat
Ilahi yang diturunkan tiap tahun pada waktu-waktu tertentu. Jauh di balik
berbagai tata cara ibadah haji yang indah itu, tersembunyi rahasia, idealisme,
hikmah, dan kata-kata yang harus kita gali.
Dalam
sejarah ummat manusia, berbagai event massal telah diciptakan oleh makhluk ini
dalam rangka menggapai sejumlah tujuan yang berbeda-beda. Event olah raga
seperti Olympiade, misalnya, diselenggarakan dalam rangka menjalin persaudaraan
antar bangsa sedunia. Berbagai seminar ilmiah internasional juga
diselenggarakan untuk meningkatkan taraf pengetahuan. Akan tetapi, tidak ada
satupun event massal yang pernah diselenggarakan oleh manusia dengan tujuan
beragam seperti penyelenggaraan haji.
Pada
awalnya, ketika ibadah haji ini mulai diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim a.s,
berbagai tata cara dan ketentuan yang ada pada ibadah tersebut mungkin belum
menemukan konteks dan dimensi lintas bangsa. Kemudian, ketika ibadah haji ini
mendapatkan legalitasnya dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasul terakhir
yaitu Nabi Muhammad SAWW, Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa perintah ibadah
haji ini diturunkan agar ummat manusia memperoleh manfaat darinya. Setelah
belasan abad berlalu sejak kewajiban beribadah haji ini disyariatkan untuk
ummat Islam, para ulama dan cendekiawan muslim mulai banyak menemukan
dimensi-dimensi agung yang tersimpan di balik berbagai tata-cara haji tersebut.
Makin hari, rahasia Ilahi ini makin terkuak.
Sebagaimana
yang selama ini telah kita ketahui dan telah berulang-ulang kita bahas, dunia
Islam saat ini memang sedang dihadapkan kepada berbagai masalah krusial yang
mengancam dan datangnya dari dunia Barat. Di abad pertengahan lalu, mayoritas
bangsa-bangsa muslim berada dalam penjajahan negara-negara Barat. Setelah itu,
muncul era imperialisme baru dalam bentuk ekspansi politik, ekonomi budaya.
Kaum muslimin dijauhkan dari agama mereka, karena Islam dikesankan sebagai
agama reaktif, kolot, keras, dan militan.
Setelah
terjadinya persitiwa teror 11 September 2001, bentuk permusuhan Barat terhadap
Islam itu memiliki nuansa lain. Kini, mereka menggunakan kekerasan dan militer
dalam menekan kaum muslimin. Ternyata, sikap Barat seperti itu malah
membangkitkan kesadaran kaum di seluruh dunia untuk meraih identitas mereka
yang selama ini terkoyak-koyak. Saat ini, sentimen anti AS di kalangan kaum
muslimin semakin hari semakin berkembang. Bagi kita, kaum muslimin, AS adalah
simbol utama wajah Barat di dunia. Akan tetapi, justru kesadaran inilah yang
semakin membangkitkan tekanan Barat terhadap dunia Islam.
Untuk
menghadapi semua konspirasi ini, semua sepakat bahwa kaum muslimin harus
bersatu, dan untuk itu, diperlukan sebuah sarana yang bisa mendekatkan kaum
muslimin di seluruh dunia satu sama lain. Di sinilah fungsi ibadah haji menjadi
tampak bagi kita. Kita simak berikut ini penuturan Ali Tourier, seorang muslim
asal Perancis, tentang hubungan antara ibadah haji dan persatuan ummat Islam.
“Saat
menjalankan ibadah haji, seorang muslim akan memperolah pemahaman bahwa tidak
ada satupun dalam hidup ini yang berpengaruh kecuali Allah Yang Esa. Hanya
Dialah satu-satunya Zat yang layak untuk disembah oleh seluruh ummat manusia.
Adanya satu Zat yang disembah itu membuat para penyembahnya, yaitu kita kaum
muslimin, memiliki banyak kesamaan yang bisa menjadi dasar kuat untuk
meningkatkan persatuan. Inilah yang saat ini harus gali dari esensi ibadah
haji. Saat ini, kaum muslimin dani seluruh dunia sedang menghadapi banyak
permasalahan yang datang dari dunia Barat, dan problema itu hanya bisa dihadapi
jika kita semua bersatu. Ibadah haji bisa menjadi inspirasi yang sangat indah
bagi persatuan kita”.
Berbagai
tata cara ibadah haji lainnya juga memiliki hikmah dan kandungan konsep-konsep
kebaikan yang sangat agung. Dunia saat ini sedang dihadapkan kepada salah satu
masalah besar, yaitu ketidakadilan. Dunia Barat hidup dalam limpahan materi dan
kemewahan yang sebenarnya mereka dapatkan dengan cara mengeksploitasi
negara-negara dunia ketiga. Sementara itu di belahan dunia lainnya, jutaan
penduduk bumi terancam mati karena kelaparan. Ini adalah fakta yang tidak bisa
dipungkiri oleh siapapun.
Akar
dari semua itu adalah kesalahan konsep Barat saat memandang diri mereka dan
membandingkannya dengan bangsa-bangsa lain. Berbagai sepak terjang dan
kebijakan internasional Barat, kalau mau diteliti lebih dalam, menunjukkan
secara jelas bahwa mereka itu tidak egaliter. Mereka merasa memiliki darah yang
superior dibandingkan dengan darah bangsa-bangsa kulit berwarna. Sampai
batas-batas tertentu yang cukup signifikan, paham-paham elitisme itu juga
diserap oleh sejumlah pemimpin dunia ketiga. Jadinya, ketidakadilan itu muncul
di mana-mana, mulai di tingkat global, regional, hingga lokal.
Untuk
itulah, dunia saat ini memerlukan gerakan-gerakan tertentu yang memperjuangkan
konsep keadilan universal. Di sini, marasim haji kembali menawarkan solusinya.
Kewajiban orang-orang yang berhaji untuk menanggalkan semua pakaian kebesaran
dan menggantinya dengan lembaran kain putih saat berihram merupakan pesan yang
sangat jelas untuk bisa ditangkap tentang keinginan agama Islam ini untuk
menegakkan keadilan di muka bumi. Jika kita saat ini berkunjung ke Mekah, kita
akan segera merasakan suasana egaliter yang tidak akan bisa ditemukan di tempat
manapun di dunia ini. Semua berpakaian sama. Kita tidak akan bisa membedakan
mana di antara jamaan haji itu yang kaya, dan mana yang miskin; mana yang
pemimpin dan mana rakyat jelata.
Terkait
dengan hubungan antara ibadah haji dan konsep egalitarianisme tersebut, kami
kutipkan buat Anda kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. tentang ibadah haji
berikut ini. “Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mampu menangkap
spiritualitas keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya
jatuh ke dalam kehinaan dan represi. Siapa saja yan dalam ibadah haji ini mampu
menyingkirkan perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan duniawi, ia akan
merasakan adanya kesucian, kebaikan hati, egalitarianisme, dan kasih sayang
pada jiwanya. Setelah itu, ia akan menyebarkan berbagai hal yang indah itu di
tengah-tengah masyarakat”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Musim
haji telah tiba. Jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
tanah suci Makkah Al-Mukarramah. Semua datang mewakili berbagai bangsa,
berbagai warna kulit, dan berbagai ras di dunia, dengan membawa identitas yang
sama, yaitu Islam. Mereka juga mengenakan pakaian serupa sambil mengucapkan
berbagai kalimat pujian kepada Allah. Mereka secara serentak berseru, “Labbaik,
Allahumma labbaik!” Betapa agungnya kumpulan manusia ini. Sepanjang sejarah,
tidak akan pernah kita dapati pemandangan indah dan agung seperti yang
ditunjukkan oleh kaum muslimin saat mereka melakukan ibadah haji. Akan tetapi,
justru kaum muslimin inilah yang saat ini menjadi komunitas yang paling
menderita di dunia.
Ketika
kaum muslimin untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji secara bebas,
Rasulullah SAWW memerintahkan para sahabat setianya agar menunjukkan keagungan
Islam ini secara demonstratif. Kaum muslimin disuruh meneriakkan
kalimat-kalimat talbiah dengan suara lantang. Gerakan-gerakan thawaf dan
sa’iy juga diminta agar dilakukan dengan penuh gairah. Melihat hal
tersebut, kaum musyrikin Mekah yang untuk sementara waktu menyingkir ke atas
bukit-bukit batu di sekeliling kota, sontak tertegun. Ibadah haji kaum muslimin
adalah manuver yang berisikan pesan kehebatan kekuatan ummat Muhammmad di depan
berbagai kekuatan lainnya.
Sampai
batas-batas tertentu, kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji saat ini juga
bisa dikatakan telah menunjukkan keagungan agama ini kepada ummat manusia di
dunia. Bagaimanapun juga, kesamaan pakaian ihram, kalimah talbiah, dan
tata cara peribadatan, telah memberikan kesan yang sangat kuat bahwa kaum
muslimin memang memiliki fondasi yang kuat untuk bersatu. Akan tetapi, fakta
yang ada menunjukkan bahwa keagungan yang ditunjukkan jamaah haji itu belum
sampai pada tahap sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan ummatnya
dulu. Jika tidak, tentulah musuh-musuh Islam itu sudah lama tidak berani
melakukan represinya kepada ummat Muhammad ini, dan nasib ummat Islam tidaklah
seperti sekarang ini. Lihatlah apa yang menimpa kaum muslimin di Irak,
Palestina, Afghanistan, dan kawasan-kawasan lainnya. AS, Zionis, dan
sekutu-sekutunya telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan pada kaum
muslimin di kawasan-kawasan itu.
Begitu
transparannya kekejaman negara-negara arogan dunia, terutama AS, hingga sewasa
ini, opini umum dunia memandang AS sebagai pemerintah yang haus kekuasaan,
unilateral, dan konfrontatif yang berencana menguasai dunia dan merampok
sumber-sumber kekayaan negara lain, khususnya negara-negara muslim. Atas alasan ini, sebelum didudukinya Irak oleh AS dan Inggris,
sempat timbul penentangan luas dari masyarakat dunia. Masyarakat dunia tidak
mempercayai klaim AS bahwa invasi mereka ke Irak adalah demi menolong rakyat
Irak dan menegakkan demokrasi di negara tersebut. Kini, AS telah berubah
menjadi rezim yang paling dibenci di dunia yang telah membuat ketidakamanan dan
kekerasan yang menyebar luas di negeri-negeri muslim.
Setelah
kejadian 11 September, Gedung Putih melakukan aksi imperialisme dan
perampokannya terhadap negara-negara muslim secara terang-terangan dan penuh kekerasan. Negara ini telah menghidupkan kembali periode
imperialisme kuno. Hal inilah yang kini tengah terjadi di Irak dan Afghanistan.
Tentara AS secara langsung menyerang dan menduduki kedua negara tersebut.
Sementara pasukan AS sibuk menyerang penduduk sipil, perusahaan-perusahaan
minyak AS juga tak henti-hentinya menguras sumber minyak di Irak untuk dijual
ke luar negeri.
Pada
saat yang sama, jaringan raksasa media massa AS tak henti-hentinya melancarkan
propaganda negatif terhadap kaum muslimin. Dengan tujuan untuk mengubah opini
dunia yang membenci aksi invasi AS, di satu sisi, media massa AS berusaha
menjustifkasi dengan slogan-slogan penegakan demokrasi. Di sisi lain, media
massa Barat juga berusaha menciptakan opini bahwa kaum muslimin adalah teroris,
pencinta kekerasan, serta berniat untuk menghancurkan peradaban Barat.
Peristiwa 11 September dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyerang Islam dan
kaum muslimin. Tak pelak lagi, berbagai propaganda anti Islam ini justru
menimbulkan kebencian dari kaum muslimin dunia terhadap AS.
Dukungan
total yang ditunjukkan AS terhadap rezim Zionis merupakan salah satu konspirasi
kotor yang membuat penderitaan kaum muslimin bertambah panjang. Rezim Zionis
telah merebut tanah air milik bangsa Palestina dan mendirikan sebuah negara
ilegal di atasnya. Tiap harinya, rezim ini melakukan penyerangan, pembantaian,
dan penghancuran atas rumah dan ladang milik bangsa Palestina. berbagai
kejahatan itu mendapatkan dukungan dari AS, baik dengan bantuan politik,
ekonomi, militer, maupun propaganda. Karena dukungan terang-terangan yang
ditunjukkan oleh AS terhadap Israel yang merupakan musuh dunia Islam, tak heran
bila masyarakat muslim di seluruh dunia membenci AS dan menganggapnya sebagai
musuh.
Selepas
keruntuhan Uni Sovyet tahun 1991 dan berakhirnya Perang Dingin, AS menjadi
satu-satunya kekuatan adidaya di dunia. Sejak itu pula AS semakin agresif dalam
menjalankan politik unilateralnya. Dengan berbagai cara, AS berusaha menanamkan
pengaruhnya di berbagai negara dengan tujuan untuk meraih keuntungan ekonomi
dan politik. Dengan menjalin kronisme dengan para penguasa di berbagai negara
muslim atau melakukan tekanan-tekanan politik, perusahaan-perusahaan AS meraih
keuntungan yang sangat besar dalam eksplorasi kekayaan alam di negara-negara
tersebut. AS juga mendalangi berbagai konflik politik di banyak negara, yang
ujung-ujungnya, pihak yang meraih keuntungan dari konflik tersebut adalah AS.
Pasca
Serangan 11 September 2001, AS semakin terang-terangan
dalam melancarkan serangan dan tekanan terhadap kaum muslimin sedunia. Isu-isu
terorisme senantiasa dimunculkan oleh para pejabat AS dan disebarluaskan oleh
jaringan media massa negara ini. Akibatnya, kaum muslimin di AS dan Eropa
banyak yang menjadi korban dari sikap kebencian di kalangan masyarakat Barat
terhadap Islam. Mereka dilecehkan, diserang, atau bahkan dipenjarakan tanpa
alasan yang jelas.
Kini,
bukan hanya masyarakat muslim dunia yang menyadari kebusukan AS itu, namun juga
masyarakat Barat, termasuk rakyat AS sendiri. Berbagai demonstrasi yang marak
terjadi di negara-negara Barat, termasuk di dalam negeri AS sendiri,
membuktikan adanya kesadaran opini umum dunia atas kejahatan rezim Washinton
ini. Namun demikian, satu-satunya cara untuk menghentikan kejahatan AS
di atas bumi adalah dengan persatuan di antara seluruh kaum muslimin yang telah
tersadarkan akan wajah asli AS sebagai sebuah negara imperialis di abad modern.
Bertemunya
kaum muslimin pada musim haji jelas merupakan kesempatan sangat bagus untuk
mempererat persatuan ini. Jamaah haji dari seluruh dunia, khususnya kaum
cendekiawan mereka, harus menyadari bahwa kedatangan mereka ke Mekah adalah atas
undangan Allah SWT. Kini, ummat Islam yang menyembah Allah sedang berada dalam
kesulitan besar akibat konspirasi AS dan sekutu-sekutunya. Karena itu, dengan
sangat mudah kita bisa memahami bahwa salah satu perintah yang diberikan oleh
Allah kepada kita semua adalah menyelesaikan segala problema yang dihadapi oleh
kaum muslimin itu, dan haji merupakan kesempatan yang sangat bagus untuk
menjalankan perintah Allah itu.
Para
jamaah haji di Mekah tentulah akan bertemu dengan saudara-saudara mereka dari
Irak, Afghanistan, Palestina, Bosnia, negara-negara Afrika, atau bangsa-bangsa
muslim lainnya. Akanlah sangat aneh jika para jamaah haji itu tidak terusik
hatinya untuk setidaknya bertanya mengenai penderitaan yang mereka alami di
negara masing-masing. Itulah hal yang minimalnya harus dimanfaatkan oleh jamaah
haji dari ibadah yang sedang mereka jalani tersebut. Lebih jauhnya lagi, mereka
bisa berbincang-bincang dan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang harus
dilakukan untuk menanggulangi berbagai penderitaan itu. Meskipun mungkin saja
perbincangan yang sekilas itu tidak bisa diharapkan untuk melahirkan solusi
praktis bagi problema yang ada, akan tetapi setidaknya dari perbincangan itu
bisa timbul kebersamaan, kesadaran, dan rasa senasib sepenanggungan di antara sesama
ummat Islam sedunia.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Matahari
semakin merangkak ke atas langit. Panasnya menyengat hingga ke ubun-ubun. Pada
hari itu, sejarah tengah menjadi saksi perjalanan sangat menentukan seorang
utusan Allah bernama Ibrahim a.s. Ia bersama istrinya yang bernama Hajar dan
anaknya yang masih menyusui bernama Ismail, sedang melintasi hamparan padang
pasir yang sangat luas. Ibrahim sedang menjalankan perintah Allah. Ia
ditugaskan untuk pergi dari Tanah Syam ke sebuah tempat yang dijanjikan bernama
Mekah.
Hanya
ketawakalan tingginya kepada Allah yang membuatnya mau menjalani tugas berat
ini. Di tengah-tengah perjalanan, saat ia menemui kawasan-kawasan yang agak
teduh dan memiliki pepohonan atau air, ia berharap semoga itulah tempat yang
dijanjikan oleh Allah. Ibrahim berharap demikian karena di tempat yang dijanjikan tersebut, ia harus meninggalkan anak dan istrinya.
Akan tetapi, ternyata bukan tempat-tempat seperti itulah yang dikehendaki oleh
Allah.
Setelah
beberapa hari menempuh perjalanan yang sangat jauh, sampailah tiga manusia
pilihan itu di sebuah lembah yang kering, tanpa air dan tanpa rerumputan
sedikitpun. Di tempat itulah Ibrahim diperintahkan untuk berhenti. Inilah
tempat yang diisyaratkan oleh Allah akan menjadi rumah-Nya. Akan tetapi, dalam
tahap awal, kawasan tanpa tanda-tanda kehidupan itu harus dibuka oleh Hajar dan
anaknya saja. Sedangkan Ibrahim, untuk sementara waktu diharuskan pulang
kembali ke Syam. Untuk itulah, sesuai dengan perintah Allah, segera setelah
sampai di lembah gersang tersebut, Ibrahim langsung pamitan untuk segera pergi.
Hajar
memandang lekat ke wajah Ibrahim sambil berkata, “Wahai Ibrahim suamiku,
Betulkah engkau akan meninggalkan kami di tempat seperti ini? Tidakkah engkau
melihat bahwa ini adalah tempat yang betul-betul asing bagi kami, tanpa air dan
tanpa tanaman? Ke mana engkau hendak pergi? Kepada siapakah engkau serahkan
nasib aku dan anakmu yang masih bayi ini?”
Mendengar
perkataan Hajar itu, Ibrahim meneteskan air mata. Sambil matanya memandang
kedua orang yang sangat disayangnya itu, ia menjawab, “Allah yang telah
memerintahkanku untuk meninggalkanmu di sini”.
Sejenak
Hajar terdiam. Lalu ia berkata, “Kalau demikian, pergilah wahai Ibrahim. Allah
yang Maha Pengasih tidak akan mungkin menelantarkan kami sendirian”.
Ibrahim
kemudian bersiap-siap untuk pergi. Sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk
berdoa dengan hati yang tulus, doa yang terekam dalam Al-Quran surat Ibrahim
ayat 37. “Ya Allah, wahai Tuhan kami, aku telah meninggalkan sebagian dari anak
keturunanku di sebuah lembah gersang tanpa tanaman, yang menjadi rumah-Mu, agar
mereka mendirikan shalat di sini. Jadikanlah hati sebagian manusia agar
cenderung kepada mereka. Ya Allah, berikan mereka rizki dari buah-buahan.
Mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu”.
Ibrahim
pun pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Inilah saatnya bagi Hajar dan Ismail
untuk menjalani ujian yang sangat berat. Beberapa waktu kemudian, persediaan
air dan makanan mereka habis. Ke manakah mereka harus mencari makanan dan
minuman untuk menyambung nafas dan hidup? Dalam kondisi seperti itu, Hajar yang
saat itu berada di sebuah bukit kecil bernama Shafa, matanya tertumbuk pada
bayangan kamuflase air di bukit kecil lainnya
bernama Marwah. Ketika sampai di Marwah dan tidak didapatinya air, ia malah
melihat bayangan kamuflase air itu di bukit Shafa.
Setelah
tujuh kali berlari-lari dari Shafa ke Marwah dalam rangka mencari air, Hajar
tiba-tiba mendengar tangisan bayinya, Ismail. Rasa putus asa meliputi jiwanya.
Ia sendiri saat itu merasakan kehausan yang membakar tenggorokannya. Ia tidak
tahu, apa yang akan diberikan kepada bayinya yang menangis itu. Ia kemudian
berlari mendatangi bayinya. Betapa terkejutnya ketika ia melihat bayinya itu
tengah menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah yang basah. Tak lama kemudian,
mengalirlah air jernih dan segar dari bawah kaki Ismail. Dengan rasa gembira
yang luar biasa, Hajar meminum air tersebut. Puji dan syukur ia panjatkan
kepada Allah. Semakin yakinlah ia bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan
hambanya sendirian.
Ternyata,
tepat di bawah kaki Ismail terdapat sumber mata air yang hingga kini, setelah
ribuan tahun berlalu dari ditemukannya tempat itu, masih terus memancarkan air.
Keberadaan mata air yang kemudian diberi nama “Zamzam” itulah yang membuat para
musafir tidak pernah melewatkan untuk tinggal sejenak di tempat itu. Lama-lama,
nadi kehidupan semakin berdenyut di lembah Mekah itu, dan terkabullah doa Nabi
Ibrahim, yang meminta kepada Allah agar orang-orang memiliki kecenderungan
untuk mendatangi kawasan yang tadinya sangat gersang tersebut. Beberapa tahun
kemudian, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, Ibrahim kembali ke Mekah.
Bersama anaknya, Ismail, ia membangun Ka’bah, rumah Allah yang kemudian tiap
tahun didatangi oleh para peziarah.
Ribuan
tahun berlalu. Generasi demi generasi datang silih berganti. Berbagai peradaban
di sejumlah belahan dunia muncul dan tumbang. Puluhan utusan Allah diturunkan
oleh-Nya ke berbagai kaum. Ka’bah, rumah Allah itu, masih tegak berdiri. Mata
air Zamzam yang dulu ditemukan oleh Hajar dan Nabi Ismail juga masih terus
mengalirkan mata air yang segar. 571 tahun setelah lahirnya Nabi Isa a.s.,
sebuah peritiwa paling fenomenal dalam sejarah ummat manusia, bahkan mungkin paling
fenomenal di seluruh alam semesta, kembali berlangsung di lembah Mekah yang
saat itu sudah makin ramai. Seorang Nabi terakhir dan makhluk paling sempurna
di alam semesta lahir di kota ini.
Nabi
bernama Muhamad SAWW yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim ini, kemudian
menyebarkan agama paling sempurna bernama Islam. Lewat ajaran agama ini,
Rasulullah SAWW menyampaikan perintah Allah kepada ummatnya yang mampu, untuk
menunaikan ibadah haji dengan cara mendatangi kota Mekah. Mereka diperintahkan
untuk berihram, wukuf di Arafah, singgah di Muzdalifah, melempar jumrah, dan
bermalam di Mina. Kaum muslimin juga diperintahkan untuk berthawaf bahkan
melakukan napak tilas dengan apa yang telah diperbuat oleh Hajar dahulu, yaitu
berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa.
Sungguh
sebuah pemandangan yang sangat indah dan menggetarkan. Mekah yang kini bukan
lagi lembah yang gersang, di hari-hari terakhir ini dipenuhi oleh jutaan ummat
Muhammad. Mereka berpakaian sama dan melantunkan kalimah-kalimah pujian kepada
Allah yang serupa. Mereka semua meniru apa yang pernah dilakukan oleh Nabi
Ibrahim dan keluarganya ribuan tahun yang lalu. Mereka melakukan rangkaian
ibadah yang di dalamnya tersimpan berbagai konsep kebaikan seperti semangat
persamaan, persatuan, ketawakalan pada Allah, kesederhanaan, kesadaran sosial,
pengorbanan, semangat memerangi hawa nafsu, dan cinta kepada Allah.
Lihatlah
padang Arafah. Jutaan manusia melakukan wuquf di padang ini, di bawah sengatan
terik mentari. Tidak ada yang mereka kerjakan sejak siang hari hingga
tenggelamnya matahari itu kecuali berzikir, beribadah, dan menumpahkan
kerinduan kepada Allah. Manakala mentari tenggelam, secara serentak mereka
bergerak ke arah Muzdalifah. Di sini, di sepanjang keheningan malam, mereka
ber-khalwat dengan Allah yang Maha Pengasih. Ya Allah, apakah gerangan
yang berada dalam benak jutaan manusia itu, hingga secara bersama-sama mereka
melewatkan malam yang dingin di Muzdalifah dengan hanya bermunajat kepada-Mu”.
Muzdalifah
ternyata bukan tempat tujuan akhir. Sambil bermunajat, mereka juga menyiapkan
batu-batu sebagai alat perang. Besok, mereka akan melakukan pengorbanan. Tapi,
sebelum itu, mereka pasti akan bertempur terlebih dahulu dengan setan di Mina.
Ketika fajar menyingsing dan adzan shubuh berkumandang, jutaan ummat manusia
itu melakukan ibadah shalat shubuh. Kemudian mereka bergerak ke Mina. Di sana,
saat perjalanan mereka dihadang oleh setan, dengan gagah berani mereka bunuh
syetan dan mereka hancurkan hawa nafsu yang ada pada diri mereka. Setelah mampu
melewati godaan setan, para jamaah haji itu menyembelih hewan kurban. Berbahagialah mereka yang memiliki kemampuan dan kemudian memenuhi
panggilan Allah untuk melakukan ibadah haji ini.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Di
hari Idul Adha jalanan dipenuhi dengan
wangi semerbak kebahagiaan. Suasana penantian akan datangnya keindahan saat
hamba-hamba Allah mengorbankan hal yang dicintainya demi rasa cinta kepada
Allah, sangat terasa di mana-mana. Idul Adha atau Idul Qurban, adalah hari raya
penghambaan. Idul Qurban adalah hari raya bagi siapa saja yang menganggap
dirinya hanyalah seorang hamba yang harus mengorbankan hal yang paling
dicintainya kepada Allah.
Marilah
kita sekarang melakukan perjalanan ruhani ke Mina. Di tempat itu, pada hari
Raya Idul Adha, jutaan jamaah haji melakukan penyembelihan atas hewan kurban.
Sebelumnya, mereka melakukan lempar jumrah. Mereka melempari tugu-tugu yang
menjadi simbol hawa nafsu syaitaniah. Apa yang dilakukan jamaah haji itu
merupakan pengulangan atas sebuah peristiwa sangat agung yang pernah terjadi
terhadap Ibrahim dan putranya Ismail, ‘alaihimas-salam. Peristiwa yang
agung itu tercantum dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat ayat 102 dan 102. Dalam
surat itu, Allah berfirman sebagai berikut.
“Telah
Kami kabarkan berita gembira kepada Ibrahim tentang anaknya yang sangat sabar.
Ketika anaknya (Ismail) itu telah sampai pada usia yang cukup baginya untuk
melakukan usaha, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi.
Dalam mimpiku itu, aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?’
Ismail lalu menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apapun yang telah
diperintahkan. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
bersabar”.
Percakapan
yang pendek ini merekam sebuah gambaran dunia yang bersih serta penuh dengan
kerelaan dan cinta. Dua manusia mulia ini, yaitu Ibrahim dan Ismail, telah
menunjukkan sebuah konsep penghambaan yang paling agung. Bagi siapapun juga,
hal paling berharga yang dimiliki oleh manusia adalah nyawanya. Bagi seorang
ayah, nyawa anak kandung adalah benda paling bernilai kedua. Bahkan, dalam
banyak kasus, seorang ayah seringkali lebih menghargai nyawa anaknya daripada
nyawa dirinya sendiri. Karena itu, kepatuhan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan nyawa
anaknya, dan kepatuhan Ismail dalam untuk mengorbankan nyawanya sendiri, demi
menaati perintah Allah, jelas hanya bisa terjadi karena keduanya sudah sampai
kepada tingkat penghambaan tertinggi.
Pengorbanan
tiada tara yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail itu menyebabkan turunnya
rahmat dan keridhoan dari Allah yang Maha Pengasih. Allah kemudian mengganti
Ismail dengan seekor domba. Ismail sendiri selamat karena yang kemudian
disembelih adalah domba yang diturunkan Allah itu. Simaklah firman Allah sebagaimana
yang terekam dalam surah Ash-Shaffat ayat 105 hingga ayat 110 berikut ini.
“Wahai
Ibrahim, perintah yang engkau dapati dalam mimpi itu telah engkau kerjakan.
Kami tentu memberikan balasan kepada orang-orang yang baik seperti itu.
Sesungguhnya, ini adalah ujian yang sangat besar. Untuk itu, kami ganti
pengorbanan itu dengan sembelihan yang agung. Nama Ibrahim akan Kami kekalkan
bagi ummat-ummat setelahnya. Salam bagi Ibrahim. Kami berikan pahala bagi
kebaikan seperti ini. Ia termasuk di antara hamba-hamba-Ku yang beriman”.
Idul
Qurban adalah puncak dari pelaksanaan manasik haji. Di Mina, pada hari itu,
kita akan melihat jutaan hamba Allah mengerjakan perintah Allah ini. Mereka
berkurban sebagaimana yang dulu pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Dengan
penuh cinta dan keikhlasan, mereka membeli hewan yang paling baik dan tidak
memiliki cacat sedikitpun. Setelah itu, hewan pilihan itu justru mereka
kurbankan dan mereka persembahkan kepada Allah.
Di
seluruh dunia, kaum muslimin juga merayakan hari pengorbanan ini. Bersama-sama
dengan saudara-saudara mereka yang berada di Mina, mereka juga merayakan
keberhasilan mereka dalam mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan. Mereka
bergembira karena mampu meneladani perilaku
keluarga Nabi Ibrahim, yang dengan tangguhnya mampu menghadapi godaan-godaan
setan, sehingga berbagai manuver syaitan yang menyesatkan berhasil dihalau,
bahkan betul-betul diperangi. Sikap teguh memerangi syaitan ini dalam ibadah
haji dilambangkan dengan melontar jumrah.
Bersama para jamaah haji lainnya, mereka berharap sepenuh hati agar
dengan ibadah haji dan kurban itu, kecintaan pada dunia, kecintaan kepada diri,
anak, isteri,suami, dan harta jangan sampai melebihi dengan kecintaannya kepada
Allah. Allah berfirman, “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai
Allah. Adapun orang yang beriman, mereka amat mecintai Allah” (Quran Surah
Al-Baqarah ayat165).
Haji
adalah lambang persatuan dan kesatuan umat. Ajaran ini tercermin sejak orang
yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti
pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan
tertentu. Pakaian menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan
di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep
"aku", bukan "kami atau kita", sehingga yang menonjol
adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya
yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Penonjolan
"keakuan" adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Haji juga melambangkan egalitarianisme. Mulai dari miqat mereka mengenakan pakaian yang sama yaitu kain kafan pembungkus mayat, yang terdiri dari dua helei kain putih yang sederhana. Semua memakai pakaian seperti ini. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan yang miskin, yang cukup makan dan yang kurang makan, yang dimuliakan dan yang dihinakan, yang bahagia dan yang sengsara, yang terhormat dan orang awam, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur. Mereka memakai pakaian yang sama, berangkat pada waktu dan tempat yang sama, dan akan bertemu pada waktu dan tempat yang sama pula. Mereka beraktifitas dengan aktivitas yang sama dan menggunakan kalimat yang sama.
Ibadah
haji dan kurban juga menunjukkan semangat ketundukan secara mutlak terhadap
segala yang diperintahkan oleh Allah. Ibadah kurban juga mengajak ummat manusia
di dunia agar selalu bersiap-siap untuk melakukan pembelaan terhadap agama dan
ideologi. Surah Al-Haj ayat 37 juga mengisyaratkan kepada ummat Islam bahwa
yang paling penting dari ibadah kurban adalah semangat untuk terus menempa diri
hingga menjadi hamba yang bertakwa. Disebutkan dalam surat itu bahwa daging dan
darah hewan sembelihan itu tidak akan sampai kepada Allah, karena memang Allah
tidak membutuhkan semua itu, dan yang dinilai oleh Allah adalah ketakwaan kita.
Karena
itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh
manusia dengan ibadah haji adalah pencapaian tahap demi tahap nilai ketakwaan,
hingga mencapai derajat manusia sempurna. Keterpisahan dan hal-hal duniawi yang
mengikat dan dari berbagai bentuk hawa nafsu adalah pelajaran terpenting yang
harus diserap oleh siapa saja yang menjalankan ibadah haji ini.
Berkorbanlah
layaknya Ibrahim dan Ismail
Nyawa
siap terlepas demi pengabdian dan cinta sejati
Jika
tidak, maka kepergianmu ke Kabah
Hanya
membuat setan tertawa terbahak-bahak
Berkorbanlah,
tapi dirimulah yang dikorbankan itu
Bukan
domba, dan bukan yang selain dirimu
Jika
tidak, sungguh engkau belum mampu memahami
Makna
dari setan yang dikutuki
i musim haji, gema talbiah
dari para tamu Allah di tanah wahyu Ilahi yaitu tanah suci Mekah terdengar dan
menyentuh hati. Pada hari-hari ini lautan umat Islam meneriakkan ucapan Labbaik
Allahumma Labbaik, sebuah ucapan yang dapat melupakan manusia dari hal-hal yang
berbau duniawi. Dengan ucapan ini umat Islam dengan hati khusu' pergi menuju
Baitullah, Ka'bah.
Haji adalah pemisahan dari
diri untuk menyatu dengan Yang Esa dan mendaki puncak makrifat. Haji adalah
pembebasan jiwa dari berbagai macam noda untuk kemudian menghiasinya dengan
logika dan kelembutan-kelembutan ruhani. Oleh sebab itu, beruntung sekali
orang-orang yang berhasil mendatangi wilayah malakut di Baitullah, Ka'bah.
Karena itu pada hari-hari haji ini suasana kota Mekah , tanah kelahiran Rasul
terakhir, sukar untuk dilukiskan.
Dengan mendengar munajat
dan doa-doa para pecinta Allah, dan dengan telah dekatnya musim haji, maka
harapan dan keinginan untuk dapat berziarah ke Rumah Allah, menjadi hidup di
dalam hati setiap Muslim. Bisa dipastikan bahwa bagi setiap Muslim, perjalanan
hati merupakan dambaan hati. Di hari-hari ini, dua kota suci Mekah dan Madinah
menyaksikan pentas-pentas cinta yang paling indah dan ungkapan hati para
peziarah yang berseru "labbaik" menjawab panggilan hak, dan dengan
hati yang dipenuhi cinta Ilahi mereka berangkat menuju Rumah Allah.
Haji adalah sebuah
perjalanan ruhani ke sebuah tempat suci dan terkenal dengan nama Mekah, yang
dilakukan pada bulan Dzul Hijjah dengan tujuan ziarah ke Rumah Allah, Ka'bah,
untuk melaksanakan upacara-upacara khusus, yang disebut "mansik
Haji". Perjalanan agung dan mulia ini merupakan kewajiban atas setiap
Muslim sekali dalam hidupnya, dengan syarat adanya biaya, kesehatan jasmani dan
ruhani, serta tak adanya halangan apapun yang akan mengganggu perjalanan
hajinya.
Bisa dikatakan, bahwa
disetiap masyarakat manusia, terdapat saat dan tempat-tempat khusus untuk
pelaksanaan acara-acara ibadah dan pengamalan ajaran-ajaran maknawi. Ka'bah
adalah Rumah Tauhid dan tempat ibadah paling lama yang dibangun di muka bumi
ini. Catatan-catatan sejarah memberikan kesaksian bahwa pada awalnya, Ka'bah
dibangun oleh Nabi Adam Alaihissalam. Kemudian Ka'bah mengalami kerusakan dalam
peristiwa taufan pada masa Nabi Nuh alaihissalam dan diperbaiki oleh Nabi
Ibrahim Alihissalam. Sejak saat itu Ka'bah selalu menjadi pusat perhatian para
penyembah Tuhan yang Maha Esa.
Ka'bah merupakan
manifestasi keagungan dan rahmat Allah. Rumah suci ini adalah monumen sejarah
hidup nabi-nabi besar seperti Adam Alaihissalam, Ibrahim Alaihissalam dan Rasul
Allah Muhammad SAWW, serta perjuangan mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran
tauhid kepada seluruh umat manusia. Setiap Mukmin, ketika berada di hadapan
Ka'bah, maka ia akan tenggelam di dalam keagungan dan keindahan yang Maha
Agung, dan seluruh wujudnya akan dikuasai oleh semangat dan perasaan-perasaan
khusus.
Haji adalah sebuah jalan
untuk bertaqarrub kepada Allah dan salah satu syiar terpenting di dalam Islam.
Di dalam perjalanan ruhani ini, manusia meninggalkan segala kelezatan jasmani
dan menjauhkan diri dari setiap kekotoran. Peziarah Rumah Allah, dengan berseru
"Labbaik Allahumma Labbaik", mengungkapakan kerinduan dan kecintaan
mereka dari dalam jiwa mereka; lalu mereka menenggelamkan diri ke dalam doa-doa
dan munajat menyampaikan segala derita yang ia tanggung selama ini, seraya
memohon rahmat dan inayah-Nya. Sesungguhnya, untuk menyatakan penghambaan diri
kepada Dzat yang hak, tempat dan saat yang demikian inilah, saat di mana
seseorang berada di dalam Rumah Allah dan Haram suci pusat keamanan Ilahi,
adalah saat dan tempat yang paling tepat. Karena kapan dan dimana lagi saat dan
tempat yang lebih mulia di banding saat dan tempat yang demikian ini?
Pada musim haji, tempat ini
menyaksikan kehadiran umat Islam yang sangat besar, para peziarah yang
melakukan segala bagian dari ibadah tersebut serba bersama-sama, kompak dan
serempak; di dalam pakaian yang sama pula, baik bentuk dan warnanya. Di tempat yang
suci dan di dalam suasana ruhani ini, satu hal yang teras lebih nyata daripada
selainnya ialah saat-saat manis meraskan curahan rahmat Ilahi, dan kedekatan
yang sangat dekat dengan Dzat yang maha Sempurna. Pada saat-saat semacam ini,
segala macam titel dan gelar serta kelebihan-kelebihan lahiriyah, seakan musnah
tak berbekas. Semua yang ada ialah keikhlasan dan penghambaan diri kepada Dzat
yang Maha Agung lagi Maha Mulia.
Di dalam ibadah haji yang
bersifat sangat konstruktif ini, segala macam egoisme dan kesombongan manusia,
yang merupakan akar berbagai macam kesulitan dan musibah dalam masyarakat
tersingkir jauh. Suasana jiwa manusia pun tersiapkan untuk menuju ke arah
kesempurnaan. Hati dan jiwa manusia pelaksana ibadah haji, dengan terbukanya
rantai-rantai keinginan hawa nafsu yang membelengu, akan memperoleh kekuatan
tak terbatas untuk terbang semakin tinggi, menuju kepada kehidupan yang
diinginkan, di dalam suatu ufuk yang luas serta di dalam udara yang lebih baik
dan lebih mulia.
Ibadah haji adalah sebuah
kesempatan, dimana seseorang dapat membebaskan diri dari dirinya sendiri, dan
menyatu dengan Dzat yang Mutlak, tempat bergantung segala sesuatu yang maujud.
Sesungguhnya haji adalah suatu ibadah yang mengandung segala unsur pernyataan
diri sebagai hamba. Hal inilah yang memberikan keagungan kepada ibadah Ilahiyah
ini.
Dalam liputan wartawan kami
tentang suasana kota suci Mekah di hari-hari sekarang ini melaporkan:
"Ketika kami memasuki kota suci Mekah, di benak kami terlintas gambaran
tentang gurun sahara yang tandus dan panas dimana Nabi Ibrahim yang hanya
disertai istri dan putranya berada di sisi Baitullah. Namun sekarang kota ini
telah menjadi kota yang padat penduduk dan kami melihat betapa doa nabi Ibrahim
AS telah dikabulkan Allah. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran Surah
Ibrahim ayat 37, saat itu nabi Ibrahim berdoa: "Ya Tuhan sesungguhnya aku
telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai
tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan (yang
sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka (keturunan Nabi Ibrahim) dan berilah rizki
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Sedemikian besar kerinduan
kami kepada Baitullah sehingga seolah-oleh degup hati kami terdengar oleh
telinga. Dari atas gunung kami menyaksikan Masjidil Haram dan lautan manusia
berpakaian serba putih bersama-sama menuju Masjidil Haram. Dari sini kami juga
menyaksikan burung-burung merpatai Masjidil Haram beterbangan di sekitarnya dan
sama sekali tidak menunjukkan ras takut kepada arus manusia. Seolah-olah mereka
juga tahu bahwa di sini adalah lembah yagn diamankan Allah serta temapt
berlabuhnya keadilan dan takwa dimana tak seorangpun berhak mengganggu binatang
atau tanaman apapun. Di sini tidak ada jenis kesombongan dan egoisme. Apa yang
ada hanyalah kehormatan, ketenteraman, persaudaraan dan takwa.
Arus manusia yang datang
silih berganti memasuki Masjidil Haram dari berbagai pintu yang terbuka untuk
para tamu Allah dan selintas kemudian tatapan kami tertuju pada keindahan
Ka'bah yang memancarkan keagungan dan keteguhan ke langit. Tak lama kemudian
kami segera bersujud dan memanjatkan puji syukur atas keagungan dan
kebesaranNya."
Ka'bah telah diceritakan
sejarah semenjak zaman Nabi Adam AS. Saat nabi Adam turun ke bumi, Allah SWT
telah meletakkan kubah di tempat dimana Ka'bah sekarang berada agar kubah ini
dijadikan tempat bertawaf oleh Nabi Adam. Kubah itu terus ada hingga zaman Nabi
Nuh AS dan setelah itu tempat tersebut dijadikan tempat tawaf para Nabi. Ketika
sampai pada zaman Nabi Ibrahim AS, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim agar
membangun Ka'bah di tempat itu dan sejak itu hingga sekitar 4 ribu tahun tak
ada satupun peristiwa yang dapat mengurangi keagungan dan kesucian Baitullah
ini. Pada Ka'bah terdapat pemandangan yang dapat membangkitkan jiwa pengabdian
dan kecintaan kepada yang Esa.
Baitullah Ka'bah adalah
pusat segala wujud semesta dan manusia sebagai wujud-wujud yang lain berasal
dari Allah SWT dan tak ada orientasi kecuali Allah SWT. Para tamu Allah dengan
semangat cinta yang luar biasa di sekitar Baitullah telah mejadi ibarat
laron-laron (kalkatu) yang mengelilingi lilin. Dan dengan gelora jiwa yang tak
dapat dilukiskan mereka menyampaikan munajatnya kepada Allah SWT.
Dalam hal ini wartawan kami
menyatakan sebagai berikut:
"Hari ini dimana kami
menyaksikan Ka'bah dari tempat yang tertinggi di Masjidil Haram kami mengetahui
rahasia diamnya lembaga-lembaga informasi dan mass media untuk tidak
merefleksikan ibadah besar haji umat Islam. Di sini, bukanlah tempat atau
bangunan yang menjadi tempat mencurahkan cinta. Lautan manusia ini bukanlah
karena tradisi atau kebiasaan memutari fokus tauhid melainkan karena dorongan
logika akal dan kehendak untuk bertawaf kepada Tuhan Sang Pencipta alam.
Seorang pelaksana ibadah haji harus tahu untuk apa mereka mengelilingi Ka'bah.
Dengan kehendaknya, ia harus berdiri di atas kaki sendiri agar ia berada dalam
orientasi tauhid dan jika ada desakan orang yang mendorong punggungnya saat
tawaf, maka tawafnya akan batal."
"Dewasa ini dimana
berbagai negara berusaha membangun istana-istana dan bangunan-bangunan termegah
serta dengan kekerasan dan penipuan berusaha memperoleh popularitas dan untuk
masalah terkecil pun mereka menggelar konferensi dan seminar, akan tetapi
mereka sama sekali tidak melontarkan sedikitpun kata-kata untuk mengungkapkan
kesan-kesan ibadah besar haji yang mengandung nuansa pengabdian, politik dan
sosial umat Islam ini. Sebab mereka tahu betul betapa dalamnya pengaruh ibadah
ini dalam menentukan garis nasib manusia.
"Rahasia Ka'bah tidak
bisa dilukiskan dengan lidah melainkan dengan hati. Pada saat dimana lautan
manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih dan memiliki aneka ragam bahasa
mendirikan solat di depan Baitullah dan engkau pun dapat menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri, engkau hanya bisa khusu' dan merendah diri di depan Sang
Pemilik rumah ini, kemudian engaku ambil cahaya yang tertinggi dan
bertasbihlah."
"Keagungan dan kemuliaan
Ka'bah ada pada keagungan dan kebesaran Sang Pencipta dan yang mengatur segala
wujud semesta, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quranul Karim di bagian
terakhir surah Al-Hasyr yang artinya: "Dialah Allah yang menciptakan, yang
mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik.
Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Imam Khomeini (r.a)
berkenaan ibadah haji berkata: "Berkumpulnya manusia mengelilingi Ka'bah menunjukkan
bahwa selain Allah janganlah kalian berkumpul mengelilinginya. Tawaf memutari
Ka'bah yang menunjukkan cinta kepada Yang Hak, mengajarkan kepada kita untuk
membersihkan hati kita dari selain-Nya, dan tidak takut kepada apapun
selain-Nya. Sa'i antara Safa dan Marwa mengajarkan agar kita berusaha menuju ke
arah kekasih yang kita cintai, yaitu Allah SWT, dengan ketulusan dan kebersihan
hati. Karena dengan menuju dan memperoleh kedekatan kepada-Nya, maka segala
macam persoalan duniawi akan hilang sirna. Segala keraguan dan kebimbangan pun
akan musnah. Demikian pula segala bentuk ketergantungan kepada hal-hal yang
bersifat materi.
Sekali lagi kota Nabi,
Madinah al-Munawwarah dipadati oleh umat Islam yang merindukan ziarah ke
puasara Rasul. Kota Madinah adalah kota yang menghidupkan kenangan tentang
perjuangan, jihad dan pengorbanan umat Islam di sisi Rasul untuk menegakkan
Kalimatullah dan keadilan. Kota inilah yang menyimpan kenagan dari perjuangan
Rasul dan para sahabatnya seperti Imam Ali bin Abi Talib dan Sayyidina Hamzah.
Menyusuri kota madinah, seolah-olah semua penjuru menyampaikan kata-kata dan
mengisahkan kepada kita tentang jerih-payah, cobaan dan pengorbanan Rasul serta
para pengikutnya untuk mengangkat manusia dari jurang kebodohan dan kesesatan.
Lautan peziarah Baitullah
singgah ke kota Madinah untuk mendatangi sebuah tempat dimana tubuh manusia
yang paling sempurna dan suci berbaring. Masjidunnabi, dimana pusara Rasul
berada, menyaksikan lautan umat yang berada di wilayah suci dan mengenang perjuangan
dan ibadah Rasul yang sedemikian ikhlas. Kota madinah sekarang ini tampak ceria
menyambut tamu-tamu yang mendambakan kedekatan di sisi Allah. Umat Islam yang
berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan ibadah haji di tanah
Hijaz senantiasa singgah ke Madinah, baik itu sebelum menunaikan manasik haji
atau setelahnya. Sebab tidaklah mungkin seseorang disebut peziarah Baitullah
namun tidak berziarah ke utusan Allah yang terakhir, yaitu Nabi Besar Muhammad
SAWW.
Setelah munculnya Islam, saat
Rasul mendapat penentangan keras orang-orang kafir di Mekah, beliau mengambil
keputusan untuk hijrah ke Madinah untuk menunaikan risalahnya. Hijrah Rasul ke
Madinah merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Setelah menetap
di Madinah, di bangun sebuah masjid pertama untuk memantapkan posisi dan
keberadaan umat Islam. Masjid ini diberi nama Masjid Nabawi. Masjid ini menjadi
basis perkembangan Islam serta tempat untuk menyelesaikan urusan agama dan
sosial umat Islam.
Para peziarah Baitullah saat
singgah di Madinah dan berada disekitar pusara Rasul merasakan seolah-olah
Rasul membacakan ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung rahmat dan ampunan
(maghfirah) Ilahi dan seolah-olah Rasul sedang menyeru mereka agar bertakwa dan
menempuh jalan yang lurus. Dan termasuk saat-saat Rasul yang paling indah ialah
ketika beliau menebarkan senyum keridhaan dan mengusap-usapkan telapak
tangannya di kepala anak-anak yatim. Kota Madinah juga menyimpan kisah-kisah
tentang keteguhan dan keberanian Rasul di depan orang-orang kafir dan zalim.
Pada saat beliau melihat adanya bahaya atau ancaman musuh, beliau mengeluarkan
perintah untuk melakukan perlawanan. Dan dengan terjun langsung ke medan laga,
beliau telah menjadi tempat berlindung para mujahidin dalam keadaan yang paling
sulit.
Para peziarah Baitullah,
dengan mengingat kancah-kancah ini dan dalam keadaan dirinya dipenuhi dengan
rasa cinta kepada kebenaran dan keadilan, berjanji kepada Allah untuk
menerapkan ajaran Islam dan mengikuti jejak Rasul dan Ahlul Baitnya. Daya tarik
perilaku Rasul yang merupakan rahmat bagi penghuni alam semesta sedemikian
kuatnya sehingga seseorang, tanpa disadari bisa meminta kepada Allah agar
perilakunya diserupakan dengan perilaku Rasul.
Para peziarah makam suci
Rasul, ketika berziarah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang
oleh syariat dan berusaha berbuat baik. Mereka juga berjanji akan berusaha
membantu orang yang memerlukan pertolongan dan sebaliknya akan melawan
orang-orang zalim dan penindas. Jika ada hak-hak orang yang diinjak-injak,
mereka akan berusaha memperjuangkannya. Dengan semangat jiwa seperti ini dan
pada saat dadanya terbuka lebar untuk menerima segala kesempurnaan akhlak dan
kesucian, mereka datang menuju Baitullah untuk menunaikan manasik-mansik haji
dan memperlihatkan kepada Allah manifestasi pengabdian dan ibadahnya dengan
bentuk yang terindah.
Para peziarah Baitullah di
kota Madinah juga tak akan lupa berziarah ke pemakaman Baqi' dimana beberapa
orang dari Ahlul Bait dan sahabat besar Rasul dibaringkan. Diantara acara
ibadah yang paling mengharukan setiap tahun di kota Madinah ialah pembacaan
sebuah doa panjang yang kerap dibaca oleh Imam Ali, yaitu Doa Kumail. Sebuah
doa yang memuat rintihan, pengaduan, pernyataan berdosa, pujian kepada Allah
dan permohonan ampun kepada Allah. Acara ini biasa dilakukan jemaah haji dan
peziarah dari Iran yang kemudian dihadiri pula oleh para peziarah dari
negara-negara lain.
Mengenai acara-acara ritual
pada musim haji tahun ini, wartawan kami antara lain melaporkan sebagai
berikut:
"Pada tahun ini, kota
Madinah juga menyaksikan penyelenggaraan acara pembacaan Doa Kumail dalam
suasana spiritual dan ruhani yang penuh. Setelah menunaikan solat jamaah dalam
saf-saf kebersamaan, para pecinta Rasul dan Ahlul Baitnya telah memarakkan kota
Madinah dengan alunan doa dan pujian. Sedemikian maraknya suasana keruhanian di
kota Madinah sehingga seolah-olh terdengar suara sayap-sayap para Malaikat yang
datang dan pergi menghadap Rasul. Dan yang paling menarik dalam acara-acara ini
ialah pembacaan doa dan munajat umat Islam demi pembebasan Al-Quds dan umat
Islam Palestina yang teraniaya. Kepekaan umat Islam di saat haji terhadap
masalah Palestina dan nasib seluruh umat Islam di Afghanistan, Tajikistan,
Bosnia dan berbagai penjuru dunia lainnya merupakan manifestasi dari nuansa
politik haji serta menunjukkan adanya rasa tanggungjawab umat Islam terhadap
nasib saudara-saudara mereka."
"Suasana ikhlas, tulus
dan ketertiban para pembaca doa dari Iran ini telah menarik perhatian para
peziarah dari negara lain. Nonya Zainah dari Belgia saat menyaksikan acara
pembacaan doa Kumail yang sangat mengharukan ini mengungkapkan: "Sungguh,
di sini seseorang akan merasakan kebenaran umat Islam. Acara-acara ini
benar-benar menghidupkan semangat pengabdian pada jiwa manusia yang mana inilah
tujuan dari haji."
No comments:
Post a Comment