Saturday, May 18, 2013

Falsafah Haji

Falsafah Haji
 
Inilah saat-saat kehadiran terindah di tanah suci, tanah tempat Rasulullah pertama kali menyampaikan suara wahyu Ilahi. Cinta kepada Ilahi telah menarik jutaan manusia  dari tanah kelahiran dan rumah mereka untuk datang berbondong-bondong ke sebuah tanah yang aman dan suci. Puji syukur kita panjatkan kepada Allah, Tuhan yang Mahaagung, karena telah menganugerahkan usia hingga kita bertemu lagi dengan bulan Dzulhijjah yang mulia ini. Kita kini bisa kembali menyaksikan tibanya hari-hari ketika jutaan ummat Muhammad berkumpul, bersama-sama mengucapkan kalimah talbiah, “Labbaik, Allahumma labbaik”. “Inilah aku Ya Allah, datang menemui panggilan-Mu”.
Saat Nabi Ibrahim a.s. membangun sebuah bangunan sederhana berbentuk kubus sebagai tempat ibadah kepada Allah, mungkin saat itu tidak ada yang bisa mengira bahwa tempat itu akan menjadi pusat dari jalinan persaudaraan paling tulus dari jutaan ummat manusia yang mendambakan pertemuan dengan Allah. Tidak ada yang menyangka bahwa kehadiran jutaan ummat manusia secara kolosal dalam sebuah event keagamaan haji ini juga akan menjadi kritikan praktis bagi para pengikut Marxisme yang mengatakan bahwa agama menyebabkan kelompok masyarakat menjadi rendah dan hina. Mereka yang masih berpendapat demikian seharusnya saat ini datang ke Mekah. Lihatlah, betapa jutaan manusia mampu menunjukkan keagungan mereka secara kolektif lewat syiar-syiar agama.
Haji adalah panggilan dari rumah Allah yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman di seluruh pelosok dunia. Haji mengajak mereka untuk menghirup air mata cemerlang dan segar di rumah Allah. Husein Thurabi, salah seorang peziarah Baitullah asal Iran yang tahun ini mendapatkan kesempatan menunaikan ibadah haji, mengatakan sebagai berikut.
“Saya sangat berbahagia. Sejak awal tahun, saya selalu menghitung hari demi hari karena sangat tidak sabar untuk bisa segera tiba di hari-hari ini. Karena itulah, ketika kesempatan itu sekarang tiba, yaitu ketika saya punya kesempatan untuk bertemu dengan Allah di rumah-Nya, tidak ada hal lain yang lebih layak untuk saya lakukan kecuali memanfaatkan semaksimal mungkin berbagai suasana spiritual di rumah Allah ini untuk mempercepat proses penyempurnan jiwa kita”.
Haji adalah ibadah massal yang melibatkan orang dalam jumlah jutaan. Karena itu, ibadah ini juga menampilkan suasana kolosal yang sangat indah. Saat ini, di Mekah, kita bisa menyaksikan orang-orang yang berasal dari beragam bangsa dan dengan pakaian yang berbeda, bersama-sama berkumpul di Baitul Haram. Orang-orang dari Indonesia, Malaysia, dan bangsa Melayu lainnya melakukan shalat dengan peci khas mereka. Kaum perempuannya juga mengenakan mukena khas kawasan itu. Akan tetapi, dengan segala kekhasan pakaiannya itu, mereka semua sangat serasi dengan bangsa-bangsa lainnya yang beribadah dengan pakaian khas mereka pula. Tidak ada yang janggal dari keberagaman mereka karena yang mereka perbuat adalah hal yang sama, yaitu beribadah di rumah suci.
Melihat semua itu, kita dengan mudah meyakini bahwa ibadah haji memang secara sengaja diskenariokan oleh Allah untuk sebuah rencana yang agung dan dahsyat. Hal ini juga bisa kita tangkap dari berbagai riwayat atau ayat Al-Quran yang berbicara tentang ibadah haji. Allah SWT dalam surah Al-Haj ayat 27 dan 28 berfirman sebagai berikut.
“(Wahai Muhamad), panggillah manusia untuk mengerjakan haji, hingga mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki atau mengendarai binatang-bianatang yang kurus. Mereka datang dari segala penjuru bumi yang sangat jauh. Biarkanlah mereka menyaksikan berbagai hal yang bermanfaat buat mereka sendiri. (Ajaklah mereka) agar menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan, yaitu ketika mereka berqurban dengan binatang-binatang ternak mereka. Maka, makanlah sebagian dari daging qurban itu, dan sebagian lainnya, berikanlah kepada kaum faqir untuk mereka makan”.
Imam Khomeini dalam salah satu pidatonya berkata,
“Salah satu tugas penting kaum muslimin adalah memahami hakikat haji ini. Kita seharusnya bertanya-tanya, mengapa kita harus melakukan ibadah haji yang pelaksanaannya menelan biaya sangat besar ini? Secara sekilas saja, kita bisa melihat bahwa haji adalah sebuah pertunjukkan yang digelar oleh kaum muslimin dalam rangka memamerkan kekuatan spiritual dan bahkan kekuatan materi yang dimiliki oleh kaum muslimin. Akan tetapi, pemahaman sekilas ini saja jelas tidak cukup untuk menggali rahasia keagungan yang tersembunyi dalam ibadah haji ini. Para ulama dan cendekiawan muslim harus berupaya keras untuk memahami, dan memahamkannya kepada orang lain, tentang mutiara hidayah, hikmah, dan kebebasan yang terkandung dalam ibadah ini”.
Sementara itu Syeikh Muhamad Yazbaki, salah seorang ulama besar Lebanon, mengatakan sebagai berikut.
“Falsafah yang terkandung dari ibadah haji sebagai kongres kaum muslimin sedunia adalah sebuah gerakan massal untuk menyatukan langkah dan hati kaum muslimin sedunia dalam menghadapi kekuatan arogan internasional. Saat bertemu dalam marasim haji, kaum muslimin dari berbangsa bisa menularkan pengalaman mereka masing-masing tentang perjuangan menegakkan agama mulia ini di tempat mereka. Hari ini, keperluan untuk menyatukan langkah di antara kaum muslimin itu makin terasa urgensinya, mengingat saat ini kaum muslimin sedang menghadapi fitnah dan konspirasi Barat dalam memecah-belah kita dengan slogan-slogan palsu semisal pemberantasan terorisme”.
Ibadah haji memang sangat indah. Pada saat masyarakat dunia banyak kehilangan arah dan pegangan hidup, para peziarah rumah Allah secara serentak menggumamkan “Labbaik Allahumma labbaik. Ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu”. Pada saat ketidakamanan dan ketidaktenteraman terjadi di banyak tempat di dunia ini, jutaan kaum muslimin di Mekah beribadah secara khusyu dan tenteram, sambil saling menunjukkan kasih sayangnya terhadap sesama. Dengan ibadah dan kekhusyuan massal yang mereka gelar di Mekah itu, kaum muslimin itu seakan menyampaikan pesan indah berikut ini kepada seluruh ummat manusia di dunia.
“Jika seluruh manusia mau menyembah Allah yang Mahaesa, Zat yang mengajarkan keindahan dan hidup mulia; Zat yang mengajarkan kehidupan damai dan kebaikan terhadap sesama; dan jika seluruh ummat manusia mau menyembah Allah dengan segala sifat keagungan dan kebaikannya seperti itu, niscaya manusia pada masa sekarang tidak perlu khawatir dengan berbagai macam kakacauan, krisis, dan pertentangan di antara sesama mereka. Manusia niscaya akan hidup damai, tenteram, dan sentausa, sebagaimana yang diperlihatkan secara indah oleh kaum muslimin saat mereka menunaikan ibadah haji”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Ketika Nabi Muhamad SAWW melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah, sebuah peristiwa historis tengah bergulir dan sebuah gerakan besar sedang menyeruak membelah langit peradaban manusia. Sejak saat itu, Madinah menjadi salah satu kota paling penting, bukan hanya untuk para pengikut agama Islam, tetapi juga untuk seluruh ummat manusia di dunia. Di kota inilah peradaban Islami mulai ditata. Karena pentingnya nilai historis kota ini, hampir tidak ada peziarah Baitullah yang tidak mengunjungi Madinah saat mereka melakukan ibadah haji, meskipun ziarah ke Madinah bukanlah bagian dari ibadah haji.
Di hari-hari sebelum dan sesudah pelaksanaan ibdah haji, suasana spiritual yang kental sangat terasa di kota Madinah, khususnya di Masjid Nabawi, tempat dimakamkannya Rasulullah SAWW. Kaum muslimin secara berkelompok dan bergiliran menziarahi makam Rasul yang suci ini. Mereka berupaya keras memperoleh berkah dari pusara Rasulullah SAWW. Salah seorang peziarah pusara Rasulullah SAWW bernama Husaini menuturkan pengalamannya sebagai berikut.
“Saat aku menginjakkan kaki di kota Madinah, aku langsung merasakan segarnya semilir angin kedamaian yang sangat semerbak. Di sinilah tempat dimakamkannya makhluk termulia di alam semesta, yaitu Nabi Muhammad SAWW. Dialah manusia yang bukan saja telah mengajarkan kepada kita akhlak yang mulia, melainkan dia sendiri yang memberikan contoh dan suri tauladan tentang bagaimana caranya menjadi manusia yang baik. Karenanya, menyaksikan dari dekat pusara beliau memberikan suasana tersendiri yang sangat impresif.
“Siapa saja yang mendatangi pusara beliau, hatinya pasti tergetar, kecuali jika hati mereka memang sudah diliputi oleh hawa nafsu dan bisikan setan. Saya sendiri melihat betapa banyak orang yang datang untuk berziarah ke makam beliau dengan hati yang diliputi oleh rasa keagungan yang dipancarkan oleh makam Rasulullah. Banyak orang yang tanpa terasa meneteskan air mata kerinduan abadi kepada Rasul yang mulia ini. Ketika adzan menggema dari menara Masjid Nabawi, segera terbayang masa-masa indah saat Bilal bin Rabah, salah seorang sahabat dekat Rasulullah, melantunkan suara emasnya membacakan adzan dalam rangka memanggil kaum muslimin untuk menghadap Allah”.
Memang, meskipun sudah belasan abad lamanya berlalu dari masa hidup Nabi, kehidupan beliau dan sahabat-sahabatnya yang setia tetap terbayang hingga kini begitu kita memasuki kota Madinah Al-Munawwarah. Itu semua disebabkan sangat mulianya kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Rasulullah di Madinah. Semuanya tersimpan sebagai kenangan di kota itu. Terbayang pula bagaimana dulu Rasulullah tidak pernah berhenti memberikan nasihat kepada ummatnya, dan nasehat beliau itu masih sangat relevan dengan kondisi ummatnya di masa kini. Dengarkanlah salah satu petikan nasehat beliau yang dicatat oleh para ahli hadits berikut ini.
“Wahai kaum muslimin, berhati-hatilah, jangan sampai kalian melepaskan persatuan dan kebersamaan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kalian. Janganlah kalian berpecah belah, saling membunuh, dan kalian kembali ke masa jahiliah dulu. Aku sangat mengkhawatirkan bahwa hal itu akan terjadi kepada kalian sepeninggalku nanti. Ingatlah, aku telah meninggalkan buat kalian dua pusaka yang akan membuat kalian tetap bersatu padu. Keduanya adalah Kitabullah dan itrah-ku, keluargaku”.
Hampir semua ulama dan cendekiawan muslim sedunia menyepakati fakta bahwa kaum muslimin saat ini menghadapi salah satu problema besar, yaitu persatuan yang sangat rapuh. Berbagai fakta di bidang ekonomi, politik, kebudayaan, dan hal-hal lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar bangsa muslim dunia lebih suka menjalin persaudaraan dengan pihak luar daripada dengan saudara-saudara seagama mereka. Padahal, justru masalah persatuan inilah yang saat ini sering menjadi faktor paling menentukkan dalam menyelesaikan berbagai problema yang dihadapi ummat Islam.
Saat ini, ummat Islam di manapun mereka berada, pastilah tengah menghadapi berbagai problema yang pelik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, masalah yang dihadapi seakan bertambah rumit dan menyakitkan, terutama setelah kaum arogan dunia menggelar gerakan yang mereka namakan dengan program pemberantasan terorisme dengan sasaran kelompok-kelompok Islam dunia. Jelas sekali bahwa ada agenda tersembunyi di balik program itu. Hal-hal yang tersembunyi itu kini semakin terungkap. Bangsa-bangsa muslim dunia juga semakin menyadari konspirasi busuk negara-negara arogan itu. Akan tetapi, kesadaran tersebut masih baru pada tahap awal karena belum terimplementasikan dalam bentuk gerakan-gerakan kongkrit untuk melawan kesewenang-wenangan yang ditimpakan kepada kuammuslimin. Hal ini menunjukkan bahwa ada hal lain yang harus dimiliki kaum muslimin agar kesadaran itu bisa menghasilkan hal-hal yang kongkret dan positif. Hal yang hilang, dan harus diwujudkan itu adalah masalah persatuan.
Di sisi lain, bangsa-bangsa muslim juga adalah pemilik cadangan energi minyak dan gas terbesar di dunia. Jumlah penduduk kaum muslimin juga termasuk yang terbesar. Akan tetapi, mengapa semua potensi itu belum bisa mengantarkan ummat Muhammad ini menjadi kaum yang memiliki peranan signifikan di panggung internasional. Tentu saja, banyak sebabnya. Akan tetapi, hampir semua cendekiawan muslim sepakat bahwa salah satu faktor penghalang tampilnya kaum muslimin di dunia adalah tidak adanya persatuan di antara mereka.
Ketika kita melihat ibadah haji yang dilakukan oleh jutaan ummat Islam dari seluruh dunia, dan kemudian kita mengingat kembali problema sangat rapuhnya persatuan dan kebersamaan di antara kaum muslimin, kita akan langsung menghubungkan kedua masalah ini. Bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-Quran bahwa salah satu tujuan diperintahkannya ummat Islam melakukan ibadah haji ini dalah supaya mereka memperoleh manfaatnya? Bukankah saat melakukan ibadah haji itu, para peziarah Rumah Allah itu menujukkan persatuan dan kebersamaan mereka? Mengapa kebersamaan indah yang ditunjukkan oleh para hujjaj itu tidak bisa ditransformasikan ke dalam bentuk kebersamaan kaum muslimin di seluruh dunia?
Tidak bisa diragukan lagi bahwa optimisme mengenai akan terwujudnya persatuan di antara kaum muslimin dunia akan kita rasakan saat kita melihat kaum muslimin melakukan ibadah haji. Inilah yang dirasakan oleh sejumlah orang. Kini, kita simak penuturan Nyonya Zainab Kobold, seorang cendekiawan Barat yang baru saja memeluk agama Islam, dan ia juga sempat melakukan ibadah haji ke Mekah.
“Haji memberikan pengaruh yang sangat besar kepada saya. Jutaan ummat manusia datang dari delapan penujuru dunia. Secara bersama-sama, mereka melafazhkan pujian kepada Allah. Semua itu adalah pemandangan yang sangat menggetarkan. Tentu saja, berada di tengah-tengah massa yang menampilkan pemandangan kolosal seperti ini akan menjadi kenangan tersendiri yang tidak akan mungkin dilupakan. Berat dan jauhnya perjalanan akan terlupakan. Keragaman pemikiran dan perbedaan pendapat juga menjadi hilang musnah ditelan oleh agungnya kebersamaan ini. Keagungan persatuan, kebersamaan, dan persaudaraan inilah yang menjadi salah satu penyebab masuknya saya kepada agama suci ini”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Ibadah haji tentulah bukan hanya sekedar lembaran sejarah yang harus diisi oleh kehidupan seorang muslim. Haji juga bukan sekedar sepetak lahan di jazirah gersang bernama Hijaz, yang tiap tahun dihadiri oleh ummat manusia. Haji bahkan bukan hanya sekedar rangkaian amal ibadah dengan tata cara ketat yang harus dijalani oleh seorang muslim. Lebih dari semua itu, ibadah haji adalah rahmat Ilahi yang diturunkan tiap tahun pada waktu-waktu tertentu. Jauh di balik berbagai tata cara ibadah haji yang indah itu, tersembunyi rahasia, idealisme, hikmah, dan kata-kata yang harus kita gali.
Dalam sejarah ummat manusia, berbagai event massal telah diciptakan oleh makhluk ini dalam rangka menggapai sejumlah tujuan yang berbeda-beda. Event olah raga seperti Olympiade, misalnya, diselenggarakan dalam rangka menjalin persaudaraan antar bangsa sedunia. Berbagai seminar ilmiah internasional juga diselenggarakan untuk meningkatkan taraf pengetahuan. Akan tetapi, tidak ada satupun event massal yang pernah diselenggarakan oleh manusia dengan tujuan beragam seperti penyelenggaraan haji.
Pada awalnya, ketika ibadah haji ini mulai diperkenalkan oleh Nabi Ibrahim a.s, berbagai tata cara dan ketentuan yang ada pada ibadah tersebut mungkin belum menemukan konteks dan dimensi lintas bangsa. Kemudian, ketika ibadah haji ini mendapatkan legalitasnya dalam ajaran Islam yang dibawa oleh Rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad SAWW, Allah berfirman dalam Al-Quran bahwa perintah ibadah haji ini diturunkan agar ummat manusia memperoleh manfaat darinya. Setelah belasan abad berlalu sejak kewajiban beribadah haji ini disyariatkan untuk ummat Islam, para ulama dan cendekiawan muslim mulai banyak menemukan dimensi-dimensi agung yang tersimpan di balik berbagai tata-cara haji tersebut. Makin hari, rahasia Ilahi ini makin terkuak.
Sebagaimana yang selama ini telah kita ketahui dan telah berulang-ulang kita bahas, dunia Islam saat ini memang sedang dihadapkan kepada berbagai masalah krusial yang mengancam dan datangnya dari dunia Barat. Di abad pertengahan lalu, mayoritas bangsa-bangsa muslim berada dalam penjajahan negara-negara Barat. Setelah itu, muncul era imperialisme baru dalam bentuk ekspansi politik, ekonomi budaya. Kaum muslimin dijauhkan dari agama mereka, karena Islam dikesankan sebagai agama reaktif, kolot, keras, dan militan.
Setelah terjadinya persitiwa teror 11 September 2001, bentuk permusuhan Barat terhadap Islam itu memiliki nuansa lain. Kini, mereka menggunakan kekerasan dan militer dalam menekan kaum muslimin. Ternyata, sikap Barat seperti itu malah membangkitkan kesadaran kaum di seluruh dunia untuk meraih identitas mereka yang selama ini terkoyak-koyak. Saat ini, sentimen anti AS di kalangan kaum muslimin semakin hari semakin berkembang. Bagi kita, kaum muslimin, AS adalah simbol utama wajah Barat di dunia. Akan tetapi, justru kesadaran inilah yang semakin membangkitkan tekanan Barat terhadap dunia Islam.
Untuk menghadapi semua konspirasi ini, semua sepakat bahwa kaum muslimin harus bersatu, dan untuk itu, diperlukan sebuah sarana yang bisa mendekatkan kaum muslimin di seluruh dunia satu sama lain. Di sinilah fungsi ibadah haji menjadi tampak bagi kita. Kita simak berikut ini penuturan Ali Tourier, seorang muslim asal Perancis, tentang hubungan antara ibadah haji dan persatuan ummat Islam.
“Saat menjalankan ibadah haji, seorang muslim akan memperolah pemahaman bahwa tidak ada satupun dalam hidup ini yang berpengaruh kecuali Allah Yang Esa. Hanya Dialah satu-satunya Zat yang layak untuk disembah oleh seluruh ummat manusia. Adanya satu Zat yang disembah itu membuat para penyembahnya, yaitu kita kaum muslimin, memiliki banyak kesamaan yang bisa menjadi dasar kuat untuk meningkatkan persatuan. Inilah yang saat ini harus gali dari esensi ibadah haji. Saat ini, kaum muslimin dani seluruh dunia sedang menghadapi banyak permasalahan yang datang dari dunia Barat, dan problema itu hanya bisa dihadapi jika kita semua bersatu. Ibadah haji bisa menjadi inspirasi yang sangat indah bagi persatuan kita”.
Berbagai tata cara ibadah haji lainnya juga memiliki hikmah dan kandungan konsep-konsep kebaikan yang sangat agung. Dunia saat ini sedang dihadapkan kepada salah satu masalah besar, yaitu ketidakadilan. Dunia Barat hidup dalam limpahan materi dan kemewahan yang sebenarnya mereka dapatkan dengan cara mengeksploitasi negara-negara dunia ketiga. Sementara itu di belahan dunia lainnya, jutaan penduduk bumi terancam mati karena kelaparan. Ini adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun.
Akar dari semua itu adalah kesalahan konsep Barat saat memandang diri mereka dan membandingkannya dengan bangsa-bangsa lain. Berbagai sepak terjang dan kebijakan internasional Barat, kalau mau diteliti lebih dalam, menunjukkan secara jelas bahwa mereka itu tidak egaliter. Mereka merasa memiliki darah yang superior dibandingkan dengan darah bangsa-bangsa kulit berwarna. Sampai batas-batas tertentu yang cukup signifikan, paham-paham elitisme itu juga diserap oleh sejumlah pemimpin dunia ketiga. Jadinya, ketidakadilan itu muncul di mana-mana, mulai di tingkat global, regional, hingga lokal.
Untuk itulah, dunia saat ini memerlukan gerakan-gerakan tertentu yang memperjuangkan konsep keadilan universal. Di sini, marasim haji kembali menawarkan solusinya. Kewajiban orang-orang yang berhaji untuk menanggalkan semua pakaian kebesaran dan menggantinya dengan lembaran kain putih saat berihram merupakan pesan yang sangat jelas untuk bisa ditangkap tentang keinginan agama Islam ini untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Jika kita saat ini berkunjung ke Mekah, kita akan segera merasakan suasana egaliter yang tidak akan bisa ditemukan di tempat manapun di dunia ini. Semua berpakaian sama. Kita tidak akan bisa membedakan mana di antara jamaan haji itu yang kaya, dan mana yang miskin; mana yang pemimpin dan mana rakyat jelata.
Terkait dengan hubungan antara ibadah haji dan konsep egalitarianisme tersebut, kami kutipkan buat Anda kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib a.s. tentang ibadah haji berikut ini. “Tidak diragukan lagi bahwa siapapun yang mampu menangkap spiritualitas keesaan Allah dalam ibadah haji, ia tidak akan membiarkan jiwanya jatuh ke dalam kehinaan dan represi. Siapa saja yan dalam ibadah haji ini mampu menyingkirkan perbedaan dan keistimewaan-keistimewaan duniawi, ia akan merasakan adanya kesucian, kebaikan hati, egalitarianisme, dan kasih sayang pada jiwanya. Setelah itu, ia akan menyebarkan berbagai hal yang indah itu di tengah-tengah masyarakat”.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Musim haji telah tiba. Jutaan kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia berkumpul di tanah suci Makkah Al-Mukarramah. Semua datang mewakili berbagai bangsa, berbagai warna kulit, dan berbagai ras di dunia, dengan membawa identitas yang sama, yaitu Islam. Mereka juga mengenakan pakaian serupa sambil mengucapkan berbagai kalimat pujian kepada Allah. Mereka secara serentak berseru, “Labbaik, Allahumma labbaik!” Betapa agungnya kumpulan manusia ini. Sepanjang sejarah, tidak akan pernah kita dapati pemandangan indah dan agung seperti yang ditunjukkan oleh kaum muslimin saat mereka melakukan ibadah haji. Akan tetapi, justru kaum muslimin inilah yang saat ini menjadi komunitas yang paling menderita di dunia.
Ketika kaum muslimin untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji secara bebas, Rasulullah SAWW memerintahkan para sahabat setianya agar menunjukkan keagungan Islam ini secara demonstratif. Kaum muslimin disuruh meneriakkan kalimat-kalimat talbiah dengan suara lantang. Gerakan-gerakan thawaf dan sa’iy juga diminta agar dilakukan dengan penuh gairah. Melihat hal tersebut, kaum musyrikin Mekah yang untuk sementara waktu menyingkir ke atas bukit-bukit batu di sekeliling kota, sontak tertegun. Ibadah haji kaum muslimin adalah manuver yang berisikan pesan kehebatan kekuatan ummat Muhammmad di depan berbagai kekuatan lainnya. 
Sampai batas-batas tertentu, kaum muslimin yang menunaikan ibadah haji saat ini juga bisa dikatakan telah menunjukkan keagungan agama ini kepada ummat manusia di dunia. Bagaimanapun juga, kesamaan pakaian ihram, kalimah talbiah, dan tata cara peribadatan, telah memberikan kesan yang sangat kuat bahwa kaum muslimin memang memiliki fondasi yang kuat untuk bersatu. Akan tetapi, fakta yang ada menunjukkan bahwa keagungan yang ditunjukkan jamaah haji itu belum sampai pada tahap sebagaimana yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan ummatnya dulu. Jika tidak, tentulah musuh-musuh Islam itu sudah lama tidak berani melakukan represinya kepada ummat Muhammad ini, dan nasib ummat Islam tidaklah seperti sekarang ini. Lihatlah apa yang menimpa kaum muslimin di Irak, Palestina, Afghanistan, dan kawasan-kawasan lainnya. AS, Zionis, dan sekutu-sekutunya telah menimbulkan penderitaan berkepanjangan pada kaum muslimin di kawasan-kawasan itu.
Begitu transparannya kekejaman negara-negara arogan dunia, terutama AS, hingga sewasa ini, opini umum dunia memandang AS sebagai pemerintah yang haus kekuasaan, unilateral, dan konfrontatif yang berencana menguasai dunia dan merampok sumber-sumber kekayaan negara lain, khususnya negara-negara muslim.  Atas alasan ini, sebelum didudukinya Irak oleh AS dan Inggris, sempat timbul penentangan luas dari masyarakat dunia. Masyarakat dunia tidak mempercayai klaim AS bahwa invasi mereka ke Irak adalah demi menolong rakyat Irak dan menegakkan demokrasi di negara tersebut. Kini, AS telah berubah menjadi rezim yang paling dibenci di dunia yang telah membuat ketidakamanan dan kekerasan yang menyebar luas di negeri-negeri muslim.
Setelah kejadian 11 September, Gedung Putih melakukan aksi imperialisme dan perampokannya terhadap negara-negara muslim secara terang-terangan dan  penuh kekerasan. Negara ini telah menghidupkan kembali periode imperialisme kuno. Hal inilah yang kini tengah terjadi di Irak dan Afghanistan. Tentara AS secara langsung menyerang dan menduduki kedua negara tersebut. Sementara pasukan AS sibuk menyerang penduduk sipil, perusahaan-perusahaan minyak AS juga tak henti-hentinya menguras sumber minyak di Irak untuk dijual ke luar negeri.
Pada saat yang sama, jaringan raksasa media massa AS tak henti-hentinya melancarkan propaganda negatif terhadap kaum muslimin. Dengan tujuan untuk mengubah opini dunia yang membenci aksi invasi AS, di satu sisi, media massa AS berusaha menjustifkasi dengan slogan-slogan penegakan demokrasi. Di sisi lain, media massa Barat juga berusaha menciptakan opini bahwa kaum muslimin adalah teroris, pencinta kekerasan, serta berniat untuk menghancurkan peradaban Barat. Peristiwa 11 September dimanipulasi sedemikian rupa untuk menyerang Islam dan kaum muslimin. Tak pelak lagi, berbagai propaganda anti Islam ini justru menimbulkan kebencian dari kaum muslimin dunia terhadap AS.
Dukungan total yang ditunjukkan AS terhadap rezim Zionis merupakan salah satu konspirasi kotor yang membuat penderitaan kaum muslimin bertambah panjang. Rezim Zionis telah merebut tanah air milik bangsa Palestina dan mendirikan sebuah negara ilegal di atasnya. Tiap harinya, rezim ini melakukan penyerangan, pembantaian, dan penghancuran atas rumah dan ladang milik bangsa Palestina. berbagai kejahatan itu mendapatkan dukungan dari AS, baik dengan bantuan politik, ekonomi, militer, maupun propaganda. Karena dukungan terang-terangan yang ditunjukkan oleh AS terhadap Israel yang merupakan musuh dunia Islam, tak heran bila masyarakat muslim di seluruh dunia membenci AS dan menganggapnya sebagai musuh. 
Selepas keruntuhan Uni Sovyet tahun 1991 dan berakhirnya Perang Dingin, AS menjadi satu-satunya kekuatan adidaya di dunia. Sejak itu pula AS semakin agresif dalam menjalankan politik unilateralnya. Dengan berbagai cara, AS berusaha menanamkan pengaruhnya di berbagai negara dengan tujuan untuk meraih keuntungan ekonomi dan politik. Dengan menjalin kronisme dengan para penguasa di berbagai negara muslim atau melakukan tekanan-tekanan politik, perusahaan-perusahaan AS meraih keuntungan yang sangat besar dalam eksplorasi kekayaan alam di negara-negara tersebut. AS juga mendalangi berbagai konflik politik di banyak negara, yang ujung-ujungnya, pihak yang meraih keuntungan dari konflik tersebut adalah AS.
Pasca Serangan 11 September 2001, AS  semakin terang-terangan dalam melancarkan serangan dan tekanan terhadap kaum muslimin sedunia. Isu-isu terorisme senantiasa dimunculkan oleh para pejabat AS dan disebarluaskan oleh jaringan media massa negara ini. Akibatnya, kaum muslimin di AS dan Eropa banyak yang menjadi korban dari sikap kebencian di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam. Mereka dilecehkan, diserang, atau bahkan dipenjarakan tanpa alasan yang jelas.  
Kini, bukan hanya masyarakat muslim dunia yang menyadari kebusukan AS itu, namun juga masyarakat Barat, termasuk rakyat AS sendiri. Berbagai demonstrasi yang marak terjadi di negara-negara Barat, termasuk di dalam negeri AS sendiri, membuktikan adanya kesadaran opini umum dunia atas kejahatan rezim Washinton ini.  Namun demikian, satu-satunya cara untuk menghentikan kejahatan AS di atas bumi adalah dengan persatuan di antara seluruh kaum muslimin yang telah tersadarkan akan wajah asli AS sebagai sebuah negara imperialis di abad modern.
Bertemunya kaum muslimin pada musim haji jelas merupakan kesempatan sangat bagus untuk mempererat persatuan ini. Jamaah haji dari seluruh dunia, khususnya kaum cendekiawan mereka, harus menyadari bahwa kedatangan mereka ke Mekah adalah atas undangan Allah SWT. Kini, ummat Islam yang menyembah Allah sedang berada dalam kesulitan besar akibat konspirasi AS dan sekutu-sekutunya. Karena itu, dengan sangat mudah kita bisa memahami bahwa salah satu perintah yang diberikan oleh Allah kepada kita semua adalah menyelesaikan segala problema yang dihadapi oleh kaum muslimin itu, dan haji merupakan kesempatan yang sangat bagus untuk menjalankan perintah Allah itu.
Para jamaah haji di Mekah tentulah akan bertemu dengan saudara-saudara mereka dari Irak, Afghanistan, Palestina, Bosnia, negara-negara Afrika, atau bangsa-bangsa muslim lainnya. Akanlah sangat aneh jika para jamaah haji itu tidak terusik hatinya untuk setidaknya bertanya mengenai penderitaan yang mereka alami di negara masing-masing. Itulah hal yang minimalnya harus dimanfaatkan oleh jamaah haji dari ibadah yang sedang mereka jalani tersebut. Lebih jauhnya lagi, mereka bisa berbincang-bincang dan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang harus dilakukan untuk menanggulangi berbagai penderitaan itu. Meskipun mungkin saja perbincangan yang sekilas itu tidak bisa diharapkan untuk melahirkan solusi praktis bagi problema yang ada, akan tetapi setidaknya dari perbincangan itu bisa timbul kebersamaan, kesadaran, dan rasa senasib sepenanggungan di antara sesama ummat Islam sedunia.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Matahari semakin merangkak ke atas langit. Panasnya menyengat hingga ke ubun-ubun. Pada hari itu, sejarah tengah menjadi saksi perjalanan sangat menentukan seorang utusan Allah bernama Ibrahim a.s. Ia bersama istrinya yang bernama Hajar dan anaknya yang masih menyusui bernama Ismail, sedang melintasi hamparan padang pasir yang sangat luas. Ibrahim sedang menjalankan perintah Allah. Ia ditugaskan untuk pergi dari Tanah Syam ke sebuah tempat yang dijanjikan bernama Mekah.
Hanya ketawakalan tingginya kepada Allah yang membuatnya mau menjalani tugas berat ini. Di tengah-tengah perjalanan, saat ia menemui kawasan-kawasan yang agak teduh dan memiliki pepohonan atau air, ia berharap semoga itulah tempat yang dijanjikan oleh Allah. Ibrahim berharap demikian karena di tempat  yang dijanjikan tersebut, ia harus meninggalkan anak dan istrinya. Akan tetapi, ternyata bukan tempat-tempat seperti itulah yang dikehendaki oleh Allah.
Setelah beberapa hari menempuh perjalanan yang sangat jauh, sampailah tiga manusia pilihan itu di sebuah lembah yang kering, tanpa air dan tanpa rerumputan sedikitpun. Di tempat itulah Ibrahim diperintahkan untuk berhenti. Inilah tempat yang diisyaratkan oleh Allah akan menjadi rumah-Nya. Akan tetapi, dalam tahap awal, kawasan tanpa tanda-tanda kehidupan itu harus dibuka oleh Hajar dan anaknya saja. Sedangkan Ibrahim, untuk sementara waktu diharuskan pulang kembali ke Syam. Untuk itulah, sesuai dengan perintah Allah, segera setelah sampai di lembah gersang tersebut, Ibrahim langsung pamitan untuk segera pergi.
Hajar memandang lekat ke wajah Ibrahim sambil berkata, “Wahai Ibrahim suamiku, Betulkah engkau akan meninggalkan kami di tempat seperti ini? Tidakkah engkau melihat bahwa ini adalah tempat yang betul-betul asing bagi kami, tanpa air dan tanpa tanaman? Ke mana engkau hendak pergi? Kepada siapakah engkau serahkan nasib aku dan anakmu yang masih bayi ini?”
Mendengar perkataan Hajar itu, Ibrahim meneteskan air mata. Sambil matanya memandang kedua orang yang sangat disayangnya itu, ia menjawab, “Allah yang telah memerintahkanku untuk meninggalkanmu di sini”.
Sejenak Hajar terdiam. Lalu ia berkata, “Kalau demikian, pergilah wahai Ibrahim. Allah yang Maha Pengasih tidak akan mungkin menelantarkan kami sendirian”.
Ibrahim kemudian bersiap-siap untuk pergi. Sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk berdoa dengan hati yang tulus, doa yang terekam dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 37. “Ya Allah, wahai Tuhan kami, aku telah meninggalkan sebagian dari anak keturunanku di sebuah lembah gersang tanpa tanaman, yang menjadi rumah-Mu, agar mereka mendirikan shalat di sini. Jadikanlah hati sebagian manusia agar cenderung kepada mereka. Ya Allah, berikan mereka rizki dari buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur kepada-Mu”.
Ibrahim pun pergi meninggalkan Hajar dan Ismail. Inilah saatnya bagi Hajar dan Ismail untuk menjalani ujian yang sangat berat. Beberapa waktu kemudian, persediaan air dan makanan mereka habis. Ke manakah mereka harus mencari makanan dan minuman untuk menyambung nafas dan hidup? Dalam kondisi seperti itu, Hajar yang saat itu berada di sebuah bukit kecil bernama Shafa, matanya tertumbuk pada bayangan kamuflase air di  bukit kecil lainnya bernama Marwah. Ketika sampai di Marwah dan tidak didapatinya air, ia malah melihat bayangan kamuflase air itu di bukit Shafa.
Setelah tujuh kali berlari-lari dari Shafa ke Marwah dalam rangka mencari air, Hajar tiba-tiba mendengar tangisan bayinya, Ismail. Rasa putus asa meliputi jiwanya. Ia sendiri saat itu merasakan kehausan yang membakar tenggorokannya. Ia tidak tahu, apa yang akan diberikan kepada bayinya yang menangis itu. Ia kemudian berlari mendatangi bayinya. Betapa terkejutnya ketika ia melihat bayinya itu tengah menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah yang basah. Tak lama kemudian, mengalirlah air jernih dan segar dari bawah kaki Ismail. Dengan rasa gembira yang luar biasa, Hajar meminum air tersebut. Puji dan syukur ia panjatkan kepada Allah. Semakin yakinlah ia bahwa Allah tidak akan pernah membiarkan hambanya sendirian.
Ternyata, tepat di bawah kaki Ismail terdapat sumber mata air yang hingga kini, setelah ribuan tahun berlalu dari ditemukannya tempat itu, masih terus memancarkan air. Keberadaan mata air yang kemudian diberi nama “Zamzam” itulah yang membuat para musafir tidak pernah melewatkan untuk tinggal sejenak di tempat itu. Lama-lama, nadi kehidupan semakin berdenyut di lembah Mekah itu, dan terkabullah doa Nabi Ibrahim, yang meminta kepada Allah agar orang-orang memiliki kecenderungan untuk mendatangi kawasan yang tadinya sangat gersang tersebut. Beberapa tahun kemudian, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, Ibrahim kembali ke Mekah. Bersama anaknya, Ismail, ia membangun Ka’bah, rumah Allah yang kemudian tiap tahun didatangi oleh para peziarah.
Ribuan tahun berlalu. Generasi demi generasi datang silih berganti. Berbagai peradaban di sejumlah belahan dunia muncul dan tumbang. Puluhan utusan Allah diturunkan oleh-Nya ke berbagai kaum. Ka’bah, rumah Allah itu, masih tegak berdiri. Mata air Zamzam yang dulu ditemukan oleh Hajar dan Nabi Ismail juga masih terus mengalirkan mata air yang segar. 571 tahun setelah lahirnya Nabi Isa a.s., sebuah peritiwa paling fenomenal dalam sejarah ummat manusia, bahkan mungkin paling fenomenal di seluruh alam semesta, kembali berlangsung di lembah Mekah yang saat itu sudah makin ramai. Seorang Nabi terakhir dan makhluk paling sempurna di alam semesta lahir di kota ini.
Nabi bernama Muhamad SAWW yang juga merupakan keturunan Nabi Ibrahim ini, kemudian menyebarkan agama paling sempurna bernama Islam. Lewat ajaran agama ini, Rasulullah SAWW menyampaikan perintah Allah kepada ummatnya yang mampu, untuk menunaikan ibadah haji dengan cara mendatangi kota Mekah. Mereka diperintahkan untuk berihram, wukuf di Arafah, singgah di Muzdalifah, melempar jumrah, dan bermalam di Mina. Kaum muslimin juga diperintahkan untuk berthawaf bahkan melakukan napak tilas dengan apa yang telah diperbuat oleh Hajar dahulu, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa.
Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah dan menggetarkan. Mekah yang kini bukan lagi lembah yang gersang, di hari-hari terakhir ini dipenuhi oleh jutaan ummat Muhammad. Mereka berpakaian sama dan melantunkan kalimah-kalimah pujian kepada Allah yang serupa. Mereka semua meniru apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan keluarganya ribuan tahun yang lalu. Mereka melakukan rangkaian ibadah yang di dalamnya tersimpan berbagai konsep kebaikan seperti semangat persamaan, persatuan, ketawakalan pada Allah, kesederhanaan, kesadaran sosial, pengorbanan, semangat memerangi hawa nafsu, dan cinta kepada Allah.
Lihatlah padang Arafah. Jutaan manusia melakukan wuquf di padang ini, di bawah sengatan terik mentari. Tidak ada yang mereka kerjakan sejak siang hari hingga tenggelamnya matahari itu kecuali berzikir, beribadah, dan menumpahkan kerinduan kepada Allah. Manakala mentari tenggelam, secara serentak mereka bergerak ke arah Muzdalifah. Di sini, di sepanjang keheningan malam, mereka ber-khalwat dengan Allah yang Maha Pengasih. Ya Allah, apakah gerangan yang berada dalam benak jutaan manusia itu, hingga secara bersama-sama mereka melewatkan malam yang dingin di Muzdalifah dengan hanya bermunajat kepada-Mu”.
Muzdalifah ternyata bukan tempat tujuan akhir. Sambil bermunajat, mereka juga menyiapkan batu-batu sebagai alat perang. Besok, mereka akan melakukan pengorbanan. Tapi, sebelum itu, mereka pasti akan bertempur terlebih dahulu dengan setan di Mina. Ketika fajar menyingsing dan adzan shubuh berkumandang, jutaan ummat manusia itu melakukan ibadah shalat shubuh. Kemudian mereka bergerak ke Mina. Di sana, saat perjalanan mereka dihadang oleh setan, dengan gagah berani mereka bunuh syetan dan mereka hancurkan hawa nafsu yang ada pada diri mereka. Setelah mampu melewati godaan setan, para jamaah haji itu menyembelih hewan kurban.  Berbahagialah mereka yang memiliki kemampuan dan kemudian memenuhi panggilan Allah untuk melakukan ibadah haji ini.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Di hari Idul Adha  jalanan dipenuhi dengan wangi semerbak kebahagiaan. Suasana penantian akan datangnya keindahan saat hamba-hamba Allah mengorbankan hal yang dicintainya demi rasa cinta kepada Allah, sangat terasa di mana-mana. Idul Adha atau Idul Qurban, adalah hari raya penghambaan. Idul Qurban adalah hari raya bagi siapa saja yang menganggap dirinya hanyalah seorang hamba yang harus mengorbankan hal yang paling dicintainya kepada Allah.
Marilah kita sekarang melakukan perjalanan ruhani ke Mina. Di tempat itu, pada hari Raya Idul Adha, jutaan jamaah haji melakukan penyembelihan atas hewan kurban. Sebelumnya, mereka melakukan lempar jumrah. Mereka melempari tugu-tugu yang menjadi simbol hawa nafsu syaitaniah. Apa yang dilakukan jamaah haji itu merupakan pengulangan atas sebuah peristiwa sangat agung yang pernah terjadi terhadap Ibrahim dan putranya Ismail, ‘alaihimas-salam. Peristiwa yang agung itu tercantum dalam Al-Quran surah Ash-Shaffat ayat 102 dan 102. Dalam surat itu, Allah berfirman sebagai berikut.
“Telah Kami kabarkan berita gembira kepada Ibrahim tentang anaknya yang sangat sabar. Ketika anaknya (Ismail) itu telah sampai pada usia yang cukup baginya untuk melakukan usaha, Ibrahim berkata, ‘Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi. Dalam mimpiku itu, aku menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu mengenai hal ini?’ Ismail lalu menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apapun yang telah diperintahkan. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar”.
Percakapan yang pendek ini merekam sebuah gambaran dunia yang bersih serta penuh dengan kerelaan dan cinta. Dua manusia mulia ini, yaitu Ibrahim dan Ismail, telah menunjukkan sebuah konsep penghambaan yang paling agung. Bagi siapapun juga, hal paling berharga yang dimiliki oleh manusia adalah nyawanya. Bagi seorang ayah, nyawa anak kandung adalah benda paling bernilai kedua. Bahkan, dalam banyak kasus, seorang ayah seringkali lebih menghargai nyawa anaknya daripada nyawa dirinya sendiri. Karena itu, kepatuhan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan nyawa anaknya, dan kepatuhan Ismail dalam untuk mengorbankan nyawanya sendiri, demi menaati perintah Allah, jelas hanya bisa terjadi karena keduanya sudah sampai kepada tingkat penghambaan tertinggi.
Pengorbanan tiada tara yang dilakukan oleh Ibrahim dan Ismail itu menyebabkan turunnya rahmat dan keridhoan dari Allah yang Maha Pengasih. Allah kemudian mengganti Ismail dengan seekor domba. Ismail sendiri selamat karena yang kemudian disembelih adalah domba yang diturunkan Allah itu. Simaklah firman Allah sebagaimana yang terekam dalam surah Ash-Shaffat ayat 105 hingga ayat 110 berikut ini.
“Wahai Ibrahim, perintah yang engkau dapati dalam mimpi itu telah engkau kerjakan. Kami tentu memberikan balasan kepada orang-orang yang baik seperti itu. Sesungguhnya, ini adalah ujian yang sangat besar. Untuk itu, kami ganti pengorbanan itu dengan sembelihan yang agung. Nama Ibrahim akan Kami kekalkan bagi ummat-ummat setelahnya. Salam bagi Ibrahim. Kami berikan pahala bagi kebaikan seperti ini. Ia termasuk di antara hamba-hamba-Ku yang beriman”.
Idul Qurban adalah puncak dari pelaksanaan manasik haji. Di Mina, pada hari itu, kita akan melihat jutaan hamba Allah mengerjakan perintah Allah ini. Mereka berkurban sebagaimana yang dulu pernah dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Dengan penuh cinta dan keikhlasan, mereka membeli hewan yang paling baik dan tidak memiliki cacat sedikitpun. Setelah itu, hewan pilihan itu justru mereka kurbankan dan mereka persembahkan kepada Allah.
Di seluruh dunia, kaum muslimin juga merayakan hari pengorbanan ini. Bersama-sama dengan saudara-saudara mereka yang berada di Mina, mereka juga merayakan keberhasilan mereka dalam mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan. Mereka bergembira karena  mampu meneladani perilaku keluarga Nabi Ibrahim, yang dengan tangguhnya mampu menghadapi godaan-godaan setan, sehingga berbagai manuver syaitan yang menyesatkan berhasil dihalau, bahkan betul-betul diperangi. Sikap teguh memerangi syaitan ini dalam ibadah haji dilambangkan dengan melontar jumrah.
Bersama para jamaah haji lainnya, mereka berharap sepenuh hati agar dengan ibadah haji dan kurban itu, kecintaan pada dunia, kecintaan kepada diri, anak, isteri,suami, dan harta jangan sampai melebihi dengan kecintaannya kepada Allah. Allah berfirman, “Di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang yang beriman, mereka amat mecintai Allah” (Quran Surah Al-Baqarah ayat165).
Haji adalah lambang persatuan dan kesatuan umat. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat. Di sini mereka harus berganti pakaian karena pakaian melambangkan pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan batas palsu yang tidak jarang menyebabkan perpecahan di antara manusia. Selanjutnya dari perpecahan itu timbul konsep "aku", bukan "kami atau kita", sehingga yang menonjol adalah kelompokku, kedudukanku, golonganku, sukuku, bangsaku, dan sebagainya yang mengakibatkan munculnya sikap individualisme. Penonjolan "keakuan" adalah perilaku orang musyrik yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Haji juga melambangkan egalitarianisme. Mulai dari miqat mereka mengenakan pakaian yang sama yaitu kain kafan pembungkus mayat, yang terdiri dari dua helei kain putih yang sederhana. Semua memakai pakaian seperti ini. Tidak ada bedanya antara yang kaya dan yang miskin, yang cukup makan dan yang kurang makan, yang dimuliakan dan yang dihinakan, yang bahagia dan yang sengsara, yang terhormat dan orang awam, yang berasal dari Barat dan yang berasal dari Timur. Mereka memakai pakaian yang sama, berangkat pada waktu dan tempat yang sama, dan akan bertemu pada waktu dan tempat yang sama pula. Mereka beraktifitas dengan aktivitas yang sama dan menggunakan kalimat yang sama.
Ibadah haji dan kurban juga menunjukkan semangat ketundukan secara mutlak terhadap segala yang diperintahkan oleh Allah. Ibadah kurban juga mengajak ummat manusia di dunia agar selalu bersiap-siap untuk melakukan pembelaan terhadap agama dan ideologi. Surah Al-Haj ayat 37 juga mengisyaratkan kepada ummat Islam bahwa yang paling penting dari ibadah kurban adalah semangat untuk terus menempa diri hingga menjadi hamba yang bertakwa. Disebutkan dalam surat itu bahwa daging dan darah hewan sembelihan itu tidak akan sampai kepada Allah, karena memang Allah tidak membutuhkan semua itu, dan yang dinilai oleh Allah adalah ketakwaan kita.
Karena itu, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh manusia dengan ibadah haji adalah pencapaian tahap demi tahap nilai ketakwaan, hingga mencapai derajat manusia sempurna. Keterpisahan dan hal-hal duniawi yang mengikat dan dari berbagai bentuk hawa nafsu adalah pelajaran terpenting yang harus diserap oleh siapa saja yang menjalankan ibadah haji ini.
Berkorbanlah layaknya Ibrahim dan Ismail
Nyawa siap terlepas demi pengabdian dan cinta sejati
Jika tidak, maka kepergianmu ke Kabah
Hanya membuat setan tertawa terbahak-bahak
Berkorbanlah, tapi  dirimulah yang dikorbankan itu
Bukan domba, dan bukan yang selain dirimu
Jika tidak, sungguh engkau belum mampu memahami
Makna dari setan yang dikutuki
i musim haji, gema talbiah dari para tamu Allah di tanah wahyu Ilahi yaitu tanah suci Mekah terdengar dan menyentuh hati. Pada hari-hari ini lautan umat Islam meneriakkan ucapan Labbaik Allahumma Labbaik, sebuah ucapan yang dapat melupakan manusia dari hal-hal yang berbau duniawi. Dengan ucapan ini umat Islam dengan hati khusu' pergi menuju Baitullah, Ka'bah.
Haji adalah pemisahan dari diri untuk menyatu dengan Yang Esa dan mendaki puncak makrifat. Haji adalah pembebasan jiwa dari berbagai macam noda untuk kemudian menghiasinya dengan logika dan kelembutan-kelembutan ruhani. Oleh sebab itu, beruntung sekali orang-orang yang berhasil mendatangi wilayah malakut di Baitullah, Ka'bah. Karena itu pada hari-hari haji ini suasana kota Mekah , tanah kelahiran Rasul terakhir, sukar untuk dilukiskan.
Dengan mendengar munajat dan doa-doa para pecinta Allah, dan dengan telah dekatnya musim haji, maka harapan dan keinginan untuk dapat berziarah ke Rumah Allah, menjadi hidup di dalam hati setiap Muslim. Bisa dipastikan bahwa bagi setiap Muslim, perjalanan hati merupakan dambaan hati. Di hari-hari ini, dua kota suci Mekah dan Madinah menyaksikan pentas-pentas cinta yang paling indah dan ungkapan hati para peziarah yang berseru "labbaik" menjawab panggilan hak, dan dengan hati yang dipenuhi cinta Ilahi mereka berangkat menuju Rumah Allah.
Haji adalah sebuah perjalanan ruhani ke sebuah tempat suci dan terkenal dengan nama Mekah, yang dilakukan pada bulan Dzul Hijjah dengan tujuan ziarah ke Rumah Allah, Ka'bah, untuk melaksanakan upacara-upacara khusus, yang disebut "mansik Haji". Perjalanan agung dan mulia ini merupakan kewajiban atas setiap Muslim sekali dalam hidupnya, dengan syarat adanya biaya, kesehatan jasmani dan ruhani, serta tak adanya halangan apapun yang akan mengganggu perjalanan hajinya.
Bisa dikatakan, bahwa disetiap masyarakat manusia, terdapat saat dan tempat-tempat khusus untuk pelaksanaan acara-acara ibadah dan pengamalan ajaran-ajaran maknawi. Ka'bah adalah Rumah Tauhid dan tempat ibadah paling lama yang dibangun di muka bumi ini. Catatan-catatan sejarah memberikan kesaksian bahwa pada awalnya, Ka'bah dibangun oleh Nabi Adam Alaihissalam. Kemudian Ka'bah mengalami kerusakan dalam peristiwa taufan pada masa Nabi Nuh alaihissalam dan diperbaiki oleh Nabi Ibrahim Alihissalam. Sejak saat itu Ka'bah selalu menjadi pusat perhatian para penyembah Tuhan yang Maha Esa.
Ka'bah merupakan manifestasi keagungan dan rahmat Allah. Rumah suci ini adalah monumen sejarah hidup nabi-nabi besar seperti Adam Alaihissalam, Ibrahim Alaihissalam dan Rasul Allah Muhammad SAWW, serta perjuangan mereka dalam menyebarkan ajaran-ajaran tauhid kepada seluruh umat manusia. Setiap Mukmin, ketika berada di hadapan Ka'bah, maka ia akan tenggelam di dalam keagungan dan keindahan yang Maha Agung, dan seluruh wujudnya akan dikuasai oleh semangat dan perasaan-perasaan khusus.
Haji adalah sebuah jalan untuk bertaqarrub kepada Allah dan salah satu syiar terpenting di dalam Islam. Di dalam perjalanan ruhani ini, manusia meninggalkan segala kelezatan jasmani dan menjauhkan diri dari setiap kekotoran. Peziarah Rumah Allah, dengan berseru "Labbaik Allahumma Labbaik", mengungkapakan kerinduan dan kecintaan mereka dari dalam jiwa mereka; lalu mereka menenggelamkan diri ke dalam doa-doa dan munajat menyampaikan segala derita yang ia tanggung selama ini, seraya memohon rahmat dan inayah-Nya. Sesungguhnya, untuk menyatakan penghambaan diri kepada Dzat yang hak, tempat dan saat yang demikian inilah, saat di mana seseorang berada di dalam Rumah Allah dan Haram suci pusat keamanan Ilahi, adalah saat dan tempat yang paling tepat. Karena kapan dan dimana lagi saat dan tempat yang lebih mulia di banding saat dan tempat yang demikian ini?
Pada musim haji, tempat ini menyaksikan kehadiran umat Islam yang sangat besar, para peziarah yang melakukan segala bagian dari ibadah tersebut serba bersama-sama, kompak dan serempak; di dalam pakaian yang sama pula, baik bentuk dan warnanya. Di tempat yang suci dan di dalam suasana ruhani ini, satu hal yang teras lebih nyata daripada selainnya ialah saat-saat manis meraskan curahan rahmat Ilahi, dan kedekatan yang sangat dekat dengan Dzat yang maha Sempurna. Pada saat-saat semacam ini, segala macam titel dan gelar serta kelebihan-kelebihan lahiriyah, seakan musnah tak berbekas. Semua yang ada ialah keikhlasan dan penghambaan diri kepada Dzat yang Maha Agung lagi Maha Mulia.
Di dalam ibadah haji yang bersifat sangat konstruktif ini, segala macam egoisme dan kesombongan manusia, yang merupakan akar berbagai macam kesulitan dan musibah dalam masyarakat tersingkir jauh. Suasana jiwa manusia pun tersiapkan untuk menuju ke arah kesempurnaan. Hati dan jiwa manusia pelaksana ibadah haji, dengan terbukanya rantai-rantai keinginan hawa nafsu yang membelengu, akan memperoleh kekuatan tak terbatas untuk terbang semakin tinggi, menuju kepada kehidupan yang diinginkan, di dalam suatu ufuk yang luas serta di dalam udara yang lebih baik dan lebih mulia.
Ibadah haji adalah sebuah kesempatan, dimana seseorang dapat membebaskan diri dari dirinya sendiri, dan menyatu dengan Dzat yang Mutlak, tempat bergantung segala sesuatu yang maujud. Sesungguhnya haji adalah suatu ibadah yang mengandung segala unsur pernyataan diri sebagai hamba. Hal inilah yang memberikan keagungan kepada ibadah Ilahiyah ini.
Dalam liputan wartawan kami tentang suasana kota suci Mekah di hari-hari sekarang ini melaporkan: "Ketika kami memasuki kota suci Mekah, di benak kami terlintas gambaran tentang gurun sahara yang tandus dan panas dimana Nabi Ibrahim yang hanya disertai istri dan putranya berada di sisi Baitullah. Namun sekarang kota ini telah menjadi kota yang padat penduduk dan kami melihat betapa doa nabi Ibrahim AS telah dikabulkan Allah. Sebagaimana yang tertera dalam Al-Quran Surah Ibrahim ayat 37, saat itu nabi Ibrahim berdoa: "Ya Tuhan sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan (yang sedemikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka (keturunan Nabi Ibrahim) dan berilah rizki mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Sedemikian besar kerinduan kami kepada Baitullah sehingga seolah-oleh degup hati kami terdengar oleh telinga. Dari atas gunung kami menyaksikan Masjidil Haram dan lautan manusia berpakaian serba putih bersama-sama menuju Masjidil Haram. Dari sini kami juga menyaksikan burung-burung merpatai Masjidil Haram beterbangan di sekitarnya dan sama sekali tidak menunjukkan ras takut kepada arus manusia. Seolah-olah mereka juga tahu bahwa di sini adalah lembah yagn diamankan Allah serta temapt berlabuhnya keadilan dan takwa dimana tak seorangpun berhak mengganggu binatang atau tanaman apapun. Di sini tidak ada jenis kesombongan dan egoisme. Apa yang ada hanyalah kehormatan, ketenteraman, persaudaraan dan takwa.
Arus manusia yang datang silih berganti memasuki Masjidil Haram dari berbagai pintu yang terbuka untuk para tamu Allah dan selintas kemudian tatapan kami tertuju pada keindahan Ka'bah yang memancarkan keagungan dan keteguhan ke langit. Tak lama kemudian kami segera bersujud dan memanjatkan puji syukur atas keagungan dan kebesaranNya."
Ka'bah telah diceritakan sejarah semenjak zaman Nabi Adam AS. Saat nabi Adam turun ke bumi, Allah SWT telah meletakkan kubah di tempat dimana Ka'bah sekarang berada agar kubah ini dijadikan tempat bertawaf oleh Nabi Adam. Kubah itu terus ada hingga zaman Nabi Nuh AS dan setelah itu tempat tersebut dijadikan tempat tawaf para Nabi. Ketika sampai pada zaman Nabi Ibrahim AS, Allah SWT memerintahkan Nabi Ibrahim agar membangun Ka'bah di tempat itu dan sejak itu hingga sekitar 4 ribu tahun tak ada satupun peristiwa yang dapat mengurangi keagungan dan kesucian Baitullah ini. Pada Ka'bah terdapat pemandangan yang dapat membangkitkan jiwa pengabdian dan kecintaan kepada yang Esa.
Baitullah Ka'bah adalah pusat segala wujud semesta dan manusia sebagai wujud-wujud yang lain berasal dari Allah SWT dan tak ada orientasi kecuali Allah SWT. Para tamu Allah dengan semangat cinta yang luar biasa di sekitar Baitullah telah mejadi ibarat laron-laron (kalkatu) yang mengelilingi lilin. Dan dengan gelora jiwa yang tak dapat dilukiskan mereka menyampaikan munajatnya kepada Allah SWT.
Dalam hal ini wartawan kami menyatakan sebagai berikut:
"Hari ini dimana kami menyaksikan Ka'bah dari tempat yang tertinggi di Masjidil Haram kami mengetahui rahasia diamnya lembaga-lembaga informasi dan mass media untuk tidak merefleksikan ibadah besar haji umat Islam. Di sini, bukanlah tempat atau bangunan yang menjadi tempat mencurahkan cinta. Lautan manusia ini bukanlah karena tradisi atau kebiasaan memutari fokus tauhid melainkan karena dorongan logika akal dan kehendak untuk bertawaf kepada Tuhan Sang Pencipta alam. Seorang pelaksana ibadah haji harus tahu untuk apa mereka mengelilingi Ka'bah. Dengan kehendaknya, ia harus berdiri di atas kaki sendiri agar ia berada dalam orientasi tauhid dan jika ada desakan orang yang mendorong punggungnya saat tawaf, maka tawafnya akan batal."
"Dewasa ini dimana berbagai negara berusaha membangun istana-istana dan bangunan-bangunan termegah serta dengan kekerasan dan penipuan berusaha memperoleh popularitas dan untuk masalah terkecil pun mereka menggelar konferensi dan seminar, akan tetapi mereka sama sekali tidak melontarkan sedikitpun kata-kata untuk mengungkapkan kesan-kesan ibadah besar haji yang mengandung nuansa pengabdian, politik dan sosial umat Islam ini. Sebab mereka tahu betul betapa dalamnya pengaruh ibadah ini dalam menentukan garis nasib manusia.
"Rahasia Ka'bah tidak bisa dilukiskan dengan lidah melainkan dengan hati. Pada saat dimana lautan manusia, baik yang berkulit hitam maupun putih dan memiliki aneka ragam bahasa mendirikan solat di depan Baitullah dan engkau pun dapat menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, engkau hanya bisa khusu' dan merendah diri di depan Sang Pemilik rumah ini, kemudian engaku ambil cahaya yang tertinggi dan bertasbihlah."
"Keagungan dan kemuliaan Ka'bah ada pada keagungan dan kebesaran Sang Pencipta dan yang mengatur segala wujud semesta, sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Quranul Karim di bagian terakhir surah Al-Hasyr yang artinya: "Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Imam Khomeini (r.a) berkenaan ibadah haji berkata: "Berkumpulnya manusia mengelilingi Ka'bah menunjukkan bahwa selain Allah janganlah kalian berkumpul mengelilinginya. Tawaf memutari Ka'bah yang menunjukkan cinta kepada Yang Hak, mengajarkan kepada kita untuk membersihkan hati kita dari selain-Nya, dan tidak takut kepada apapun selain-Nya. Sa'i antara Safa dan Marwa mengajarkan agar kita berusaha menuju ke arah kekasih yang kita cintai, yaitu Allah SWT, dengan ketulusan dan kebersihan hati. Karena dengan menuju dan memperoleh kedekatan kepada-Nya, maka segala macam persoalan duniawi akan hilang sirna. Segala keraguan dan kebimbangan pun akan musnah. Demikian pula segala bentuk ketergantungan kepada hal-hal yang bersifat materi.
Sekali lagi kota Nabi, Madinah al-Munawwarah dipadati oleh umat Islam yang merindukan ziarah ke puasara Rasul. Kota Madinah adalah kota yang menghidupkan kenangan tentang perjuangan, jihad dan pengorbanan umat Islam di sisi Rasul untuk menegakkan Kalimatullah dan keadilan. Kota inilah yang menyimpan kenagan dari perjuangan Rasul dan para sahabatnya seperti Imam Ali bin Abi Talib dan Sayyidina Hamzah. Menyusuri kota madinah, seolah-olah semua penjuru menyampaikan kata-kata dan mengisahkan kepada kita tentang jerih-payah, cobaan dan pengorbanan Rasul serta para pengikutnya untuk mengangkat manusia dari jurang kebodohan dan kesesatan.
Lautan peziarah Baitullah singgah ke kota Madinah untuk mendatangi sebuah tempat dimana tubuh manusia yang paling sempurna dan suci berbaring. Masjidunnabi, dimana pusara Rasul berada, menyaksikan lautan umat yang berada di wilayah suci dan mengenang perjuangan dan ibadah Rasul yang sedemikian ikhlas. Kota madinah sekarang ini tampak ceria menyambut tamu-tamu yang mendambakan kedekatan di sisi Allah. Umat Islam yang berdatangan dari seluruh penjuru dunia untuk menunaikan ibadah haji di tanah Hijaz senantiasa singgah ke Madinah, baik itu sebelum menunaikan manasik haji atau setelahnya. Sebab tidaklah mungkin seseorang disebut peziarah Baitullah namun tidak berziarah ke utusan Allah yang terakhir, yaitu Nabi Besar Muhammad SAWW.
Setelah munculnya Islam, saat Rasul mendapat penentangan keras orang-orang kafir di Mekah, beliau mengambil keputusan untuk hijrah ke Madinah untuk menunaikan risalahnya. Hijrah Rasul ke Madinah merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Setelah menetap di Madinah, di bangun sebuah masjid pertama untuk memantapkan posisi dan keberadaan umat Islam. Masjid ini diberi nama Masjid Nabawi. Masjid ini menjadi basis perkembangan Islam serta tempat untuk menyelesaikan urusan agama dan sosial umat Islam.
Para peziarah Baitullah saat singgah di Madinah dan berada disekitar pusara Rasul merasakan seolah-olah Rasul membacakan ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung rahmat dan ampunan (maghfirah) Ilahi dan seolah-olah Rasul sedang menyeru mereka agar bertakwa dan menempuh jalan yang lurus. Dan termasuk saat-saat Rasul yang paling indah ialah ketika beliau menebarkan senyum keridhaan dan mengusap-usapkan telapak tangannya di kepala anak-anak yatim. Kota Madinah juga menyimpan kisah-kisah tentang keteguhan dan keberanian Rasul di depan orang-orang kafir dan zalim. Pada saat beliau melihat adanya bahaya atau ancaman musuh, beliau mengeluarkan perintah untuk melakukan perlawanan. Dan dengan terjun langsung ke medan laga, beliau telah menjadi tempat berlindung para mujahidin dalam keadaan yang paling sulit.
Para peziarah Baitullah, dengan mengingat kancah-kancah ini dan dalam keadaan dirinya dipenuhi dengan rasa cinta kepada kebenaran dan keadilan, berjanji kepada Allah untuk menerapkan ajaran Islam dan mengikuti jejak Rasul dan Ahlul Baitnya. Daya tarik perilaku Rasul yang merupakan rahmat bagi penghuni alam semesta sedemikian kuatnya sehingga seseorang, tanpa disadari bisa meminta kepada Allah agar perilakunya diserupakan dengan perilaku Rasul.
Para peziarah makam suci Rasul, ketika berziarah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh syariat dan berusaha berbuat baik. Mereka juga berjanji akan berusaha membantu orang yang memerlukan pertolongan dan sebaliknya akan melawan orang-orang zalim dan penindas. Jika ada hak-hak orang yang diinjak-injak, mereka akan berusaha memperjuangkannya. Dengan semangat jiwa seperti ini dan pada saat dadanya terbuka lebar untuk menerima segala kesempurnaan akhlak dan kesucian, mereka datang menuju Baitullah untuk menunaikan manasik-mansik haji dan memperlihatkan kepada Allah manifestasi pengabdian dan ibadahnya dengan bentuk yang terindah.
Para peziarah Baitullah di kota Madinah juga tak akan lupa berziarah ke pemakaman Baqi' dimana beberapa orang dari Ahlul Bait dan sahabat besar Rasul dibaringkan. Diantara acara ibadah yang paling mengharukan setiap tahun di kota Madinah ialah pembacaan sebuah doa panjang yang kerap dibaca oleh Imam Ali, yaitu Doa Kumail. Sebuah doa yang memuat rintihan, pengaduan, pernyataan berdosa, pujian kepada Allah dan permohonan ampun kepada Allah. Acara ini biasa dilakukan jemaah haji dan peziarah dari Iran yang kemudian dihadiri pula oleh para peziarah dari negara-negara lain.
Mengenai acara-acara ritual pada musim haji tahun ini, wartawan kami antara lain melaporkan sebagai berikut:
"Pada tahun ini, kota Madinah juga menyaksikan penyelenggaraan acara pembacaan Doa Kumail dalam suasana spiritual dan ruhani yang penuh. Setelah menunaikan solat jamaah dalam saf-saf kebersamaan, para pecinta Rasul dan Ahlul Baitnya telah memarakkan kota Madinah dengan alunan doa dan pujian. Sedemikian maraknya suasana keruhanian di kota Madinah sehingga seolah-olh terdengar suara sayap-sayap para Malaikat yang datang dan pergi menghadap Rasul. Dan yang paling menarik dalam acara-acara ini ialah pembacaan doa dan munajat umat Islam demi pembebasan Al-Quds dan umat Islam Palestina yang teraniaya. Kepekaan umat Islam di saat haji terhadap masalah Palestina dan nasib seluruh umat Islam di Afghanistan, Tajikistan, Bosnia dan berbagai penjuru dunia lainnya merupakan manifestasi dari nuansa politik haji serta menunjukkan adanya rasa tanggungjawab umat Islam terhadap nasib saudara-saudara mereka."
"Suasana ikhlas, tulus dan ketertiban para pembaca doa dari Iran ini telah menarik perhatian para peziarah dari negara lain. Nonya Zainah dari Belgia saat menyaksikan acara pembacaan doa Kumail yang sangat mengharukan ini mengungkapkan: "Sungguh, di sini seseorang akan merasakan kebenaran umat Islam. Acara-acara ini benar-benar menghidupkan semangat pengabdian pada jiwa manusia yang mana inilah tujuan dari haji."

No comments:

Post a Comment